Pada umumnya, beton mudah retak karena tumbukan keras atau gempa. Namun, beton yang satu ini beda dengan beton biasa. Beton ini mampu ditekuk hingga membentuk huruf "U" tanpa memecahkannya, dan andaikan ada retak pun beton ini mampu menyembuhkan dirinya sendiri. Cukup mengagumkan juga ya?
Ketika retakan muncul, akan timbul material-material (debu?) tertentu yang apabila tercampur air dan karbondiaksida akan menjadi beton baru yang menutupi retakan tadi. Beton baru ini akan menyatu dan menjadi sama kuat dengan beton sebelumnya.
Saat ini, beton seperti ini sudah digunakan di Osaka,pada gedung residensial tertinggi di Jepang, dan juga sudah digunakan di Michigan sebagai beton untuk jembatan. Dengan menggunakan beton ini, maka jembatan tidak lagi membutuhkan "expansion joint". Expansion joint memungkinkan beton konvensional untuk merenggang tanpa memecahkan beton tersebut, namun kabar buruknya adalah bahwa expansion joint menimbulkan suara bising pada jembatan, persis suara rel kereta api ketika kereta sedang lewat.
Manfaat lain beton ini untuk jembatan adalah, beton ini tidak mudah retak, dan andaikan retak pun bisa menyembuhkan diri sehingga tidak memerlukan pengawasan dan perawatan yang ketat dan mahal seperti pada beton konvensional. Hal yang sama tidak hanya berlaku untuk jembatan, namun semua bangunan yang menggunakan beton.
Walaupun biaya beton ini masih 3 kali lebih mahal dibanding beton konvensional, namun pada jangka panjang beton baru ini justu akan menghemat total dana yang harus dikeluarkan untuk perawatan, pengawasan, dan sebagainya.
Rabu, 03 Februari 2010
Senin, 01 Februari 2010
Tegangan Efektif
KEGAGALAN KONSTRUKSI AKIBAT PENGARUH TEGANGAN EFEKTIF
I.Pengertian
Bila tanah mengalami tekanan yang diakibatkan oleh beban, seperti beban fondasi, maka angka pori tanah akan berkurang. Selain itu tekanan akibat beban fondasi juga dapat mengakibatkan perubahan-perubahan sifat mekanik tanah yang lain, seprti menambah tahanan geser tanah.
Jika tanah berada di dalam air, tanah dipengaruhi oleh gaya angkat ke atas sebagai akibat tekanan hidrostatis. Berat tanah yang terendam ini, disebut berat tanah efektif, sedangkan tegangan yang terjadi akibat berat tanah efektif didalam tanah, disebut tegangan efektif. Tegangan efektif ini merupakan tegangan yang mempengaruhi kuat geser dan perubahan volume atau penurunan tanah.
II.Sampel Kasus
Bencana Alam Tanah Longsor Perspektif Ilmu Geoteknik
Ilmu teknik sipil dewasa ini telah berkembang dernikian luas, antara lain dalain bidang teknik, konstruksi, hidro, transportasi, lingkungan, hingga yang berkaitan dengan bidang ilmu lain seperti bahan Konstruksi teknik, yang menitik beratkan pada masalah bahan-bahan yang digunakan untuk Konstruksi bangunan; geornaterial, yang lebih berkonsentrasi pada bangunan yang berasal dari bahan tanah dan batuan; teknik sipil tradisional, yang berkaitan bangunan-bangunan tradisional dan tingkat budaya masyarakat kita. Selain itu, bidang geoteknik, yang merupakan bidang ilmu tersendiri dan menitikberatkan pada aplikasi teknik sipil dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan sifat mekanis tanah dan batuan (Suryolelono, 1996a). Geoteknik sebenamya merupakan gabungan beberapa disiplin ilmu yaitu mekanika, yang mempelajari karakteristik mekanis atau tingkah laku massa benda, bilamana dikenai gaya; bahan, yang mernpelajari karakteristik fisis (ukuran butiran, komposisi, gesekan, lekatan, kepadatan, permeaWlitas, dan sifat plastisnya); hidraulika, yang mempelajari karakteristik hidraulisnya terutama berkaitan dengan aliran air melalui media porus; dan lingkungan, yang mempelajari pengaruh/dampaknya terhadap lingkungan.
Geoteknik itu sendiri terdiri atas dua bidang pokok, yaitu ilmu dasar dan aplikasinya (Holtz dan Kovacs, 1981). limu dasar dalam bidang geoteknik adalah mekanika tanah (soil mechanics), yang mempelajari sifat-sifat fisis dan mekanis tanah; mekanika batuan (rock mechanics), yang mempelajari sifat-sifat fisis dan mekanis batuan, serta geologi teknik (engineering geology), sedangkan aplikasi ilmu. dasarnya adalah teknik fondasi (foundation engineering), yang mempelajari fondasi dari berbagai bangunan baik bangunan gedung dari tingkat sederhana sampai dengan bangunan tinggi, bangunan air, bangunan lepas pantai, bangunan jalan, lapangan terbang, dermaga dan lain-lain; teknik batuan (rock engineering), yang seperti teknik fondasi namun orientasi fondasi tidak pada tanah tetapi pada batuan (konstruksi terowongan, pusat tenaga listrik bawah muka tanah, reservoir bahan energi bawah muka tanah, atau suatu galian dalam, dan lain-lain); stabilitas lereng, yang mempelajari tentang kondisi lereng dalam keadaan labil atau mantab, lereng dalam sekala kecil maupun besar, lereng alam atau buatan, dalam tinjauan dua dimensi atau tiga dimensi, serta mitigasi dan penanggulangannya.
Akhir-akhir ini, sering te~adi bencana tanah longsor, yang dikaitkan dengan datangnya musim hujan. Bencana tanah longsor (landslides) pada tahun lalu maupun di saat musim penghujan sekarang ini, banyak terjadi di Indonesia seperti di daerah Cilacap, Purworejo, Kulonprogo, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Surnatera dan lokasi lainnya di tanah air, bahkan tedadi di tengah kota seperti di Jakarta, Semarang, Jogjakarta dan di kota lainnya. Peristiwa tanah longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada lerenglereng alam atau buatan, dan sebenarnya merupakan fenomena alam, yaitu alarn mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan te~jadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah (Anonim, 2000).
Kontribusi pengurangan kuat geser tanah pada lereng alam yang mengalami longsor disebabkan oleh faktor yang dapat berasal dari alam itu sendiri, erat kaitannya dengan kondisi geologi antara lain jenis tanah, tekstur (komposisi) dari pada tanah pembentuk lereng sangat berpengaruh terjadinya longsoran, misalnya sensivitas sifatsifat tanah lempung, adanya lapisan tanah shale, loess, pasir lepas, dan bahan organik. Bentuk butiran tanah (bulat, ataupun tajam) berpengaruh terhadap friksi yang terjacli dalam tanah, pelapisan tanah, pengaruh gempa, geomorfologi (kemiringan daerah), iklim, terutama hujan dengan intensitas tinggi atau seclang, dengan durasi yang lama di awal musim hujan, atau menjelang akhir musim hujan, menimbulkan perubahan parameter tanah yang berkaitan dengan pengurangan kuat gesernya. Pada batuan pengurangan kuat geser dapat diakibatkan oleh adanya diskontinuitas, sifat kekakuan, arah bedding,joint, orientasi lereng, derajat sementasi batuan misalnya konglomerat, batuan pasir, breksi, dan lain-lain. Variasi muka air di reservoir bendungan seperti yang terjadi pada bendungan Vaiont di Italia, merupakan salah satu contoh penyebab lemahnya bidang kontak pelapisan batuan (bedding) pembentuk lereng di sekitar waduk (reservoir) dengan orientasi miring ke arah waduk. Selain tekstur tanah, pengaruh fisik dan kimia dapat mempengaruhi, terhadap pengurangan kuat geser. Pengaruh fisik antara lain lemahnya retakan-retakan yang terjadi pada tanah lempung, hancurnya batuan breksi (disintegrasi) akibat perubahan temperatur, proses hidrasi terutama pada jenis tanah lempung berkaitan dengan meningkatnya tegangan air pori, oversaturation lapisan tanah berbutir halus (loess). Pengaruh kimia dapat diakibatkan oleh larutnya bahan semen dalam batuan pasir dan konglomerat.
Kontribusi peningkatan tegangan geser disebabkan oleh banyak faktor antara lain phenomena variasi gaya intergranuler yang diakibatkan oleh kadar air dalam tanah/batuan yang menimbulkan tedadinya tegangan air pori, serta tekanan hidrostatis dalam tanah meningkat. Variasi pembentuk batuan dan tekstur tanah, retakan-retakan yang terisi butiran halus, diskontinuitas, pelapukan dan hancurnya batuan yang menyebabkan lereng terpotong-potong, atau. tersusunnya kembali butiran-butiran halus.
Faktor lain yang berpengaruh adalah bertambah berat beban pada lereng dapat berasal dari alam itu sendiri, antara lain air hujan yang berinfiltrasi ke dalam tanah di bagian lereng yang terbuka (tanpa penutup vegetasi) menyebabkan kandungan air dalam tanah meningkat, tanah menjadi jenuh, sehingga berat volume tanah bertambah dan beban pada lereng semakin berat. Pekerjaan timbunan di bagian lereng tanpa memperhitungkan beban lereng dapat menyebabkan lereng menjadi rawan longsor. Pengaruh hujan dapat te~adi di bagian lerenglereng yang terbuka akibat aktivitas mahluk hidup terutama berkaitan dengan budaya masyarakat saat ini dalam memanfaatkan alam berkaitan dengan pemanfaatan lahan (tata guna lahan), kurang memperhatikan pola-pola yang sudah ditetapkan oleh pernerintah. Penebangan hutan yang seharusnya tidak diperbolehkan tetap saja dilakukan, sehingga lahan-lahan pada kondisi ler'eng dengan geomorphologi yang sangat miring, menjadi terbuka dan lereng menjadi rawan longsor. Kebiasaan masyarakat dalam mengembangkan pertanian/perkebunan tidak memperhatikan kemiringan lereng, pembukaan lahan-lahan baru di lereng-lereng bukit menyebabkan permukaan lereng terbuka tanpa pengaturan sistem tata air (drainase) yang seharusnya, dan bentukbentuk teras bangku pada lereng tersebut perlu dilakukan untuk mengerem laju erosi. Bertambahnya penduduk menyebabkan perkembangan perumahan ke arah daerah perbukitan (lereng-lereng bukit) yang tidak sesuai dengan peruntukan lahan (tata guna lahan), menimbulkan beban pada lereng (surcharge) semakin bertambah berat. Erosi di bagian kaki lereng akibat aliran sungai, atau gelombang air laut mengakibatkan lemahnya bagian kaki lereng, tedadinya kernbang susut material pembentuk lereng, dan lain-lain menyebabkan terjadinya peningkatan tegangan geser.
Pengaruh gempa juga menyebabkan kondisi lereng yang sebelumnya cukup stabil menjadi labil. Kondisi ini dapat terjadi, akibat goncangan pada lapisan tanah di bumi, menimbulkan struktur
tanah menjadi berubah. Pada jenis-jenis tanah berbutir kasar dalam kondisi kering akan menyebabkan butiran-butiran ini merapat, namun untuk jenis tanah yang sama dalam kondisi jenuh dan te~ebak dalam lapisan tanah lempung yang membentuk lensa-lensa pasir, apabila terjadi gempa akan mengalami peristiwa 1equefaction. Akibat pengaruh gempa tegangan pori (u) dalam lapisan tanah pasir (lensa-lensa pasir) ini meningkat, mengakibatkan tegnagan efektif tanah (C;') menurun dan bahkan mencapai nilai terendah (= 0). Hal ini berarti tanah kehilangan kuat~ dukungnya, berakibat tanah pembentuk lereng di atas lapisan ini runtuh, timbul masalah tanah longsor. Selain itu, apabila lapisan tanah lempung terletak di atas lapisan batuan keras (bed rock), akibat pengaruh gempa pada ke dua massa yang berbeda (tanah dan batuan) mempunyai percepatan yang berbeda, sehingga bidang kontak ke dua lapisan ini menjadi bagian yang lemah.
Munculnya sumber-sumber air di bagian kaki lereng akibat te~adi rembesan air menimbulkan terjadinya peristiwa erosi buluh (piping). Pada kondisi ini tanah di bagian kaki lereng kehilangan kuat dukungnya dan bahkan mendekati harga sama dengan nol, sehingga perlawanan terhadap gaya yang melongsorkan menurun, dan lereng menjadi rawan longsor.
Demikian pula pada lereng buatan dapat berupa lereng galian, lereng bendungan, lereng timbunan sampah (Chowdhury, 1978). Keruntuhan lereng buatan dapat terjadi disebabkan oleh faktor-faktor yang sama dengan lereng alam yaitu pengurangan kuat geser dan penambahan tegangan geser pada lapisan tanah pembentuk lereng. Lereng galian merupakan lereng yang direncanakan dengan menentukan rerata tinggi galian dan kerniringan galian tersebut, sehingga lereng tetap stabil (aman) sementara itu aspek ekonomi tetap menjadi pertimbangan. Umur lereng galian harus dijaga agar tetap stabil sesuai dengan tipe peke~aan seperti tambang dan bangunan teknik sipil lainnya. Kesulitannya adalah meramalkan terhadap kontrol stabilitas dan pemeliharaan. Lereng timbunan dan bendungan tergantung pada sifat mekanis dari bahan yang digunakan untuk konstruksi timbunan dan bendungan yang diperoleh dari hasil uji di laboratorium atau in situ untuk menentukan komposisi tanah dan timbunan batu, derajat pernadatan. Konstruksi timbunan dan bendungan pada tanah dasar fondasi merupakan tanah kohesif membutuhkan tahap-tahap konstruksi sesuai dengan tin9kat kOnsolidasi dengan kontrol kecePatan (rate) pembebanan agar diperoleh tingkat kepadatan tanah dasar fondasi mampu mendukung beban di atasnya. Konsolidasi tanah inipun dapat dipercepat dengan menempatkan drain vertikal (Suryolelono, 2000a).
Gerakan lereng tidak stabil merupakan gerakan yang dibedakan sebagai gerakan guguran (falls), runtuhan (top~les), longsoran (slides), penyebaran (lateral spreads), aliran (flow), dan gerakan kompleks yang merupakan kombinasi dari berbagai gerakan tersebut (Varnes, 1978) dalam Giani, 1992. Semua bentuk gerakan ini sangat ditentukan oleh formasi geologi yaitu lapisan batuan, lapukan batuan dan tanah. Ungsoran yang terjadi akan membentuk suatu pola baik di permukaan lereng maupun bentuk bidang gelincimya. Pola longsoran di bagian permukaan lereng akan membentuk pola tapal kuda, bidang ,longsor seJaiar arah kaki lereng, hummocky (bentuk busur-busur keeil) (Suryolelono, 1995b), sedang bentuk bidang longsor dapat merupakan satu atau lebih permukaan bidang longsor dengan bentuk silindris (tampang lingkaran) atau datar (tampang garis). Longsoran dengan bentuk bidang gelincir datar (translation slides), apabila bentuk bidang gelincir adalah bidang datar ke arah kaki lereng. Hutchinson (1988) dalam Giani (1992) membedakan dalam beberapa tipe yaitu sheet, slab, debris slides, dan sudden spreadfailure. Longsoran dengan bentuk bidang gelincir dengan tampang lingkaran (rotation slides) sering dengan bentuk seperti bagian lengkung silinder, cekung ke atas, dan terJadi pada lereng dengan material lempung homogen, material granuler, atau batuan masif. Namun bentuk tersebut sering tidak cekung ke atas, karena adanya pengaruh joint, bedding, faults, atau tidak homogennya lapisan tanah, mengakibatkan bidang longsor tidak mengikuti bentuk busur lingkaran, tetapi merupakan bidang lengkung dan datar. Hutchinson (1998) dalam Giani (1992) membedakan tiga tipe utama bentuk tampang bidang gelincir adalah satu lingkaran, lebih dari satu lingkaran, dan terbentuk secara berturut-turut. Bentuk bidang gelincir yang umum terjadi di Indonesia merupakan tipe longsoran dengan bidang gelincir bentuk lingkaran (rotational slides), dan datar dengan tipe slab slides atau rock slides. Kadang-kadang gerakan Iongsor merupakan gerakan yang sangat kompleks yaitu kombinasi dari rotational slides, translational slides atau bentuk-bentuk lainnya.
Dalarn bidang geoteknik, untuk menyatakan lereng aman terhadap terjadinya longsoran, dilakukan analisis dengan pendekatan model matematik dua dimensi untuk berbagai bentuk bidang longsor datar, lengkung (lingkaran), atau kombinasi ke duanya. Dalarn analisis ini umumnya dicari besarnya angka aman (factor of safety-FOS) yang merupakan fungsi tegangan geser (T). Pendekatan yang digunakan dalarn metode ini adalah keseimbangan batas, dan bentuk bidang longsor dalam dua dimensi, namun lereng tanah perlu dipertimbangkan sebagai suatu sistem tidak kenyang air sampai dengan kenyang air. Letak muka air tanah (phreatic water surface) di daerah perbukitan umumnya dalarn atau dangkal, sehingga kondisi tanah pada waktu-waktu tertentu kering (musim kemarau) dan di waktu musim hujan, tanah menjadi kenyang air. Di awal musim hujan, kondisi tanah sebagian pori tanah terisi air atau dalam kondisi tidak kenyang air. Selain itu, jenis tanah merupakan parameter yang harus dipertimbangkan pula, berhubungan dengan sifat fisis dan mekanis tanah akibat pengaruh air.
Analisis mekanisme tanah longsor yang selama ini digunakan, umumnya untuk lereng jenuh dengan memperhitungkan tegangan air pori positif, namun pada kondisi tanah belum cukup kenyang air (unsaturated), tegangan air pori dapat bemilai negatif menimbulkan terjadinya gaya sedot (soil suction atau matrix suction) dan berpengaruh terhadap kuat geser tanah (shear strength). Oleh karena itu, dalam melakukan tinjauan analisis mekanisme tanah longsor, harus dipertimbangkan kondisi lereng yang merupakan suatu sistern menyeluruh dari kondisi tanah tidak kenyang air sampai dengan kenyang air. Abramson, dkk. (1996), Rahardjo, dkk. (2002) menyatakan ada dua parameter bebas yang berpengaruh terhadap tegangan dalarn tanah dengan kondisi tidak kenyang air (ruang pori tanah sebagian terisi udara dan sebagian air), tegangan netto (a -u,,), dan matrix suction (Ua U,) (dengan cy : tegangan total, Ua : tegangan udara (gas) pori, dan u, : tegangan air pori). Pada kondisi tanah kenyang air, maka seluruh ruang pori tanah terisi air, tegangan air pori (u,) akan sama dengan tegangan udara pori (u.), sehingga matrix suction (u,, u,,) diabaikan (= 0). Oleh karena itu, parameter tegangan dalarn tanah menjadi tegangan efektif ((Y - u,). Tampak pengaruh air terutama air hujan yang berinfiltrasi ke dalam tanah, menimbulkan perubahan pada. ke dua parameter ini, dan memberikan pengaruh terhadap tegangan geser serta volume tanah yang merubah sifat-sifat tanah.
Tegangan air pori (u,) di atas zona muka air tanah (phreatic surface) umumnya te~adi akibat tegangan air pori berada di bawah tegangan atmosfir (udara). Besarnya tegangan pori negatif atau dikenal sebagai soil suction atau matrix suction tergantung besarnya tegangan permukaan pada batas udara dan air yang menyelimuti butiran tanah. Umumnya untuk tanah berbutir halus mempunyai matrix suction yang tinggi (Wong, 1970 dalam Abramson, dkk. 1996). Matrix suction meningkatkan tegangan efektif dalam seluruh massa tanah dan memperbaiki stabilitas lereng (peningkatan matrix suction berdasarkan hubungan c = c' + (Ua - UO- tan(Pb (Ho & Fredlund, 1982, dalarn Abramson, dkl~., 1996) dengan c : kohesi total tanah, c' : kohesi efektif, (Ua - UO : matrix suction, (Pb : suatu sudut yang menunjukan variasi pertambahan kuat geser relatif terhadap matrix suction (Ua U')). Matrix suction berkurang apabila kondisi tanah berangsur-angsur menjadi kenyang air (selama dan sesudah hujan lebat dengan durasi lama). Pada kondisi tanah kenyang air, besarnya kuat geser tanah (shear strength of soil) dinyatakan sesuai hubungan Coulomb (,r = c' + cr'tan(p' dan cr' = cy - u, (Coulomb, 1776, dalam Braja, 1994 dengan ,r : kuat geser tanah, c' kohesi efektif, (Y' tegangan efektif, cr tegangan total, u, tegangan air pori, dan (p' sudut gesek internal efektif tanah). Untuk kondisi tanah tidak kenyang air (unsaturated), besarnya kuat geser tanah dipengaruhi oleh matrix suction (Tff = c' + (CFf - Ua)f.tan(P' + (u,, - u,)f. tanW, dan c = c' + (Ua - U,)f- tanTb dengan c : total kohesi tanah, c' kohesi efektif, (ua - u,)f : matrix suction pada. kondisi runtuh, ((Tf Ua)f : tegangan normal netto pada kondisi runtuh, (p' : sudut gesek internal efektif atau sudut gesek internal berhubungan dengan tegangan normal netto (Abramson, dkk., 1996; Fredlund, dkk., 1978)). Tampak pada kondisi tanah tidak kenyang air, besarnya kuat geser tanah meningkat dengan bertambalmya nilai kohesi, dan ada tambahan akibat matrix suction, sehingga pada kondisi ini lereng menjadi lebih aman. Oleh karena itu, salah satu metode untuk membuat lereng menjadi aman (stabil) adalah kondisi tanah dibuat tidak kenyang air. Salah satu usaha untuk mernbuat lereng tidak kenyang air adalah menempatkan suatu sistern drainase bawah permukaan lereng (sub surface drainage) dengan memperhitungkan curah hujan yang terjadi di daerah tersebut. Tujuannya adalah agar sistem drainase mampu mengalirkan sebagian air yang meresap ke dalam tanah untuk mengurangi kandungan air dalam tanah.
Selain analisis dengan pendekatan model matematik dua dimensi, model matematik tiga dimensi untuk keruntuhan lereng telah dikembangkan dengan memanfaatkan mekanika kontinum. Dasar pernecahan analisis ini menggunakan persamaan Navier-Stokes, pengembangan persamaan kontinuitas untuk cairan tidak pampat, dan criteria Coulomb (Fathani, dkk., 2002). Pengembangan model analisis ini dengan membuat suatu program komputer LSFLOW yang masih terus dilakukan.
Keruntuhan lereng dapat terjadi karena berkurangnya/menurifnnya kernampuan kuat geser tanah secara perlahan-lahan atau mendadak atau perubahan kondisi geometri lereng akibat galian misalnya, sehingga lereng menjadi curam. Parameter penting yang dibutuhkan dalam analisis stabilitas lereng adalah kuat geser, geometri lereng, tegangan air pori atau gaya rembesan, dan beban serta'kondisi lingkungan sekitar lereng. Konsep stabilitas lereng menggunakan metode analisis dalarn memprediksi kestabilan lereng tanah untuk dua dimensi telah banyak dikembangkan oleh ahli-ahli geoteknik. Umumnya untuk menyatakan lereng dalarn kondisi stabil (mantab) dinyatakan dengan angka aman (FOS) yang merupakan rasio antara gaya atau momen yang melawan terjadinya longsor dan gaya atau momen yang melongsorkan. Besamya angka aman disesuaikan dengan beban yang bekerja, untuk kondisi beban normal artinya beban yang beketja terus menerus pada lereng mempunyai nilai 1,5-2, sedang untuk beban sernentara (misal : beban gernpa) digunakan angka. arnan lebih rendah yaitu 1,1-1,2, karena. beban ini bekerja dalam waktu relatif pendek. Konsep stabilitas lereng adalah menggunakan metode keseirnbangan batas (limit equilibrium) dengan lereng yang diperkirakan akan runtuh dibagi-bagi menjadi 8-15 pias. Metode ini antara. lain : Ordinary Method of Slice (OMS) dikembangkan oleh Fellenius (1927, 1936). Dalam analisisnya Fellenius mengabaikan keseirnbangan gaya. di kedua sisi pias dan massa tanah yang diperkirakan akan runtuh sebagai satu kesatuan. Metode ini merupakan metode dengan prosedur paling sederhana serta sebagai dasar sernua metode selanjutnya. Bishop simplified (1955) meniadakan sernua. gaya geser antar pias, narnun keseirnbangan gaya horisontal diperhitungkan secara keseluruhan. Janbu (1954, 1957, 1973) dengan anggapan seperti metode Bishop simplified narnun tidak meninjau keseirnbangan. mornen, Lowe dan Karafiath (1960) menganggap gaya-gaya. antar pias membentuk sudut sebesar rerata sudut alas dan atas pias. Corps of Engineers (1982) dengan anggapan. kemiringan gaya-gaya. antar pias sarna dengan kerniringan lereng atau sama dengan rerata. Sudut kerniringan. ujung-ujung pennukaan bidang runtuh. Spencer (1967, 1973) dalarn Winterkorn dan Fang, 1975, beranggapan. besarnya. gaya- gaya antar pias adalah sarna, narnun tidak diketahui arahnya. Sarma. (1973), dan Morgenstern & Price (1965) dalam Winterkorn dan Fang, 1975, menggunakan fungsi distribusi gaya antar pias. Fredlund dan Rahardjo (1993) cenderung meninjau kondisi lereng sebagai suatu lapisan tanah yang tidak kenyang air (unsaturated), sedang metode lainnya. dengan anggapan tanah dalarn konsidi kenyang air (saturated) atau kondisi kering. Dua metode yaitu Fellenius dan Bishop hanya dapat digunakan, apabila. bentuk bidang gelincir berbentuk tarnpang lingkaran, sedangkan bentuk bidang gelincir tidak berbentuk lingkaran menggunakan metode Janbu, Corps of Engineers, Lowe dan Karafiath, sedang analisis stabilitas lereng untuk lereng tidak kenyang air menggunakan metode Fredlund dan Rahardjo, narnun untuk mengetabui metode mana yang paling cocok, digunakan metode GLE (General Limit Equilibrium) yang mendasarkan pada keseimbangan gaya. dan keseirnbangan momen. Cara analisis ini baru dapat dilakukan, apabila sudah didapatkan parameter-perameter tanah dari hasil uji geoteknik di lapangan maupun di laboratorium. Dalam melakukan uji lapangan perlu dilakukan secara teliti untuk mendapatkan data yang akurat, danmewakili seluruh daerah yang diuji. Berbagai uji lapangan dapat digunakan untuk mendapatkan letak bidang gelincir antara lain dengan alat uji penetrasi statis (Suryolelono, 1996b), atau dinamis, dan selanjutnya diambil sampelnya untuk uji laboratorium guna mendapatkan parameter tanah.
Konsep metode analisis tiga dimensi keruntuhan lereng adalah tegangan geser pada setiap titik selalu berubah berdasarkan waktu dan lokasinya, dengan bidang longsor yang tidak selalu berbentuk busur lingkaran. Perbedaan konsep metode analisis dua dimensi dengan tiga dimensi keruntuhan lereng adalah pada metode dua dimensi tegangan geser sepanjang permukaan bidang longsor adalah konstan, sedang pada metode tiga dimensi, pada setiap titik tinjauan selalu berubah berdasarkan. fungsi waktu. dan tempatnya (Nakamura, dkk., 1989; Sasa, 1987).
Dari hasil analisis tersebut, apabila lereng dinyatakan labil, maka. diperlukan usaha untuk mengantisipasinya. Metode stabilitas lereng umumnya, mengurangi gaya yang melongsorkan atau menyebabkan lereng tanah tersebut longsor (bergerak turun) ke arah kaki lereng, memperbesar gaya perlawanan terhadap gaya yang melongsorkan, atau kombinasi ke duanya. Secara umum metode stabilitas lereng ini dapat dilakukan secara fisis, mekanis, khemis, dan bio engineering dengan memperhatikan kondisi lereng yang labil, sehingga dapat ditentukan metode yang paling tepat.
Metode stabilitas lereng secara fisis merupakan metode yang paling sederhana, namun hasilnya dapat diandalkan. Usaha stabilisasi dengan membuat lereng lebih landai, sehingga lereng menjadi tidak curam, atau mengurangi beban di bagian atas lereng dengan memindahkan material di bagian puncak lereng ke kaki lereng, menempatkan konstruksi bahu lereng (benn) merupakan usaha untuk melandaikan lereng. Penempatan pratibobot (counterweight-merupakan konstruksi timbunan batu atau tanah di bagian kaki lereng), memberikan hasil yang memuaskan, namun diperlukan ruangan (space) yang cukup luas, karena berkaitan dengan usaha galian dan timbunan. Teknik ini adalah mengurangi gaya yang melongsorkan akibat massa tanah yang bergerak turun atau menambah besamya perlawanan geser.
Usaha lain untuk membuat lereng tetap stabil dengan menempatkan sistern drainase permukaan (surface drainage) atau bawah permukaan (sub surface drainage) yang mampu untuk mengevakuasi sebagian air terutama air hujan yang berinfiltrasi ke dalarn tanah, agar tanah/batuan pembentuk lereng tidak menjadi dalam kondisi jenuh air. Air hujan yang berinfiltrasi ke dalain tanah menyebabkan muka air tanah naik, sehingga memperbesar tekanan hidrostatis pada lereng tersebut. Selain itu, akibat tekanan rembesan dapat menimbulkan terjadinya peristiwa erosi buluh (piping) di bagian lereng, dan semakin lama semakin besar sesuai dengan perkembangan debit aliran rembesan. Pada lereng-lereng yang menunjukan gejala munculnya mata air rembesan di bagian kaki lereng setelah te~adi hujan, merupakan suatu indikasi bahwa lereng ini tidak mantab (labil). Berbagai bentuk drainase permukaan dapat berupa selokan atau parit drain, dan drainase bawah permukaan antara lain drain horisontal, lapisan drain, relief drain dan terowongan drain telah banyak digunakan, dan hasilnyapun dapat diandalkan (Suryolelono, 1993, 1999).
Cara mekanis dalarn usaha stabilisasi lereng dilakukan apabila ruangan yang tersedia sangat sempit, artinya bila cara fisis sangat sulit untuk diterapkan, barulah dilakukan dengan cara mekanis. Cara ini dengan menempatkdn konstruksi penahan tanah konvensional, atau metode baru yaitu perkuatan tanah (soil reinfoercement), pengangkeran tanah (soil nailling), namun keberhasilan konstruksi ini akan lebih baik, apabila didukung dengan sistern drainase permukaan maupun bawah permukaan, dan pada konstruksi penahan tanah itu sendiri.
III.Kegagalan Konstruksi.
Kegagalan konstruksi penahan tanah konvensional yang te~adi di kota Semarang (Forum, Maret 2002; Kedaulatan Rakyat, 17, 18, 20, 23 Februari 2002), runtuhnya candi Selogriyo (Suryolelono, 1995b; 1996), karena buruknya sistern drainase pada. konstruksi penahan tanah, dan sistern drainase di sekitar konstruksi itu. Cara lain untuk mengantisipasi gerakan tanah ini dengan memancang tiang atau turap (sheet pile) di bagian lereng yang longsor, namun tiang atau turap harus cukup panjang dan melewati bidang longsor, sehingga efektif untuk menghambat turunnya material tanah yang longsor.
Metode stabilisasi dengan cara khemis merupakan usaha mencampur bahan tanah dengan semen (soil cement-shotcrete), atau bahan kapur, abu sekarn padi (ASP-abu sekarn padi-RHA-rice husk ash) (Suryolelono & Fathani, 2000), abu terbang (fly ash), sementasi (grouting) untuk meningkatkan kuat geser tanah, namun pemanfaatan bahan kimia ini perlu dipertimbangkan pengaruhnya terhadap lingkungan.
Bio engineering merupakan suatu usaha stabilisasi lereng dengan menutup lereng-lereng yang terbuka dengan tanaman. Tujuan dari usaha ini, agar air hujan sebagai pemicu gerakan lereng dapat ditahan sementara, atau tidak segera infiltrasi ke ' dalarn tanah, namun metode ini membutuhkan waktu lama. Umumnya metode ini digunakan apabila lereng diindentifikasi rawan terhadap erosi dan berakibat lanjut lereng longsor. Jenis tanaman yang direkomendasi oleh Bank Dunia seperti jati, akasia, johar, pinus mahoni, kemiri, damar dan lainlain, perlu disesuaikan dengan kondisi lereng setempat dan atas saransaran dari para ahli di bidang yang berkaitan. Mengurangi atau menghindari pembangunan teras bangku di lereng-lereng rawan longsor tanpa dilengkapi dengan saluran pembuangan air (SPA) dan saluran drainase bawah permukaan tanah untuk menurunkan muka air tanah, mengurangi intensifikasi pengolahan tanah di daerah rawan longsor (Soedjoko, 2000) merupakan salah satu usaha stabilisasi lereng rawan longsor. Umumnya usaha penanggulangan kelongsoran lereng yang digunakan merupakan kombinasi baik cara fisis, mekanis, khemis atau bio engineering, untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Keruntuhan lereng yang terjadi di Indonesia didominasi akibat sistim drainasi lereng yang buruk atau sistem drainasi yang ada mengalami gangguan. Keruntuhan lereng yang terjadi di dusun Klepu desa Banjararurn Kecamatan Kallbawang tahun lalu, sebagai salah satu contoh terganggunya sistem drainase alam (torrencial river, avfoer, gully) yang ada, akibat tertutup/terpotong jalan aspal yang menghubungkan dusun Klepu dengan daerah lainnya Degan, Nogosari (Kedaulatan Rakyat, 30 November, 2001). Jika terjadi hujan, air yang jatuh di pen-nukaan lereng akan tertahan oleh jalan ini, sehingga terjadi akumulasi air di bagian kaki lereng (sebagian menyebar mencari jalannya sendiri, dan sebagian infiltrasi ke dalmn tanah), akibatnya tanah di bagian kaki lereng menjadi kenyang air, berakibat karakteristik tanah menurun drastis, terjadi penurunan kuat geser tanah, dan lereng menjadi rawan longsor. Dernikian pula halnya runtuhnya Candi Selogroyo di desa Kembangkuning, Kecarnatan Windusari, Kabupaten Magelang, akibat terjadinya akumulasi air di bagian kaki lereng. Penyebab utarna keruntuhan lereng di lokasi Candi Selogriyo adalah bangunan pelimpah konstruksi pengambilan air (captering) yang terletak di sebelah hulu Candi Selogriyo tidak mampu mengalirkan air yang melimpah ke sungai torrencial, sehingga air menyebar secara horisontal. masuk melewati bidang kontak antara lapisan tanah keras (bed rock) dan tanah residual di atasnya (Suryolelono, 2000). Bencana tanah longsor di Desa Penusupan Kecarnatan Sruweng Kabupaten Keburnen, juga didahului dengan munculnya mata air di kaki lereng (piping) yang dalam bahasa daerahnya adalah "lernahe ngetuk" (Kedaulatan Rakyat, 8 Oktober, 2001), dernikian pula bencana tanah longsor di daerah Kulonprogo, Purworejo dan tempat-tempat lainnya selalu didahului dengan tandatanda munculnya mata air di bagian kaki lereng. Bencana di lokasi pernandian air panas di kaki Gunung Welirang, Pacet, Mojokerto, baru-baru ini merupakan satu contoh lagi terganggunya sistern drainase yang ada. Sistern drainase (sungai) alarn yang ada tidak marnpu mengalirkan debit aliran sungai pada saat itu, sehingga air mencari jalannya sendiri dengan menggerus lapisan tanah yang merupakan endapan vulkanik. Tanah yang telah bercarnpur air bergerak sangat cepat dikenal dengan lahar dingin atau mud (earth) flow, mernpunyai kernarnpuan merusak sangat dahsyat. Keruntuhankeruntuhan lereng yang dipicu oleh hujan umurnnya disebabkan oleh buruknya sistern drainase yang ada, bahkan tidak ada, sehingga air mencari jalannya sendiri. Munculnya aliran air dernikian besar, sehingga sungai-sungai (dr~inase) alarn tidak marnpu melewatkan debit aliran, disebabkan oleh faktor-faktor antara lain rusaknya daerah penyangga hujan
IV.Referensi
- www.google.com
- www.caripdf.com
- Mekanika Tanah 1,Hary Cristady Hardiyatmo,UGM
I.Pengertian
Bila tanah mengalami tekanan yang diakibatkan oleh beban, seperti beban fondasi, maka angka pori tanah akan berkurang. Selain itu tekanan akibat beban fondasi juga dapat mengakibatkan perubahan-perubahan sifat mekanik tanah yang lain, seprti menambah tahanan geser tanah.
Jika tanah berada di dalam air, tanah dipengaruhi oleh gaya angkat ke atas sebagai akibat tekanan hidrostatis. Berat tanah yang terendam ini, disebut berat tanah efektif, sedangkan tegangan yang terjadi akibat berat tanah efektif didalam tanah, disebut tegangan efektif. Tegangan efektif ini merupakan tegangan yang mempengaruhi kuat geser dan perubahan volume atau penurunan tanah.
II.Sampel Kasus
Bencana Alam Tanah Longsor Perspektif Ilmu Geoteknik
Ilmu teknik sipil dewasa ini telah berkembang dernikian luas, antara lain dalain bidang teknik, konstruksi, hidro, transportasi, lingkungan, hingga yang berkaitan dengan bidang ilmu lain seperti bahan Konstruksi teknik, yang menitik beratkan pada masalah bahan-bahan yang digunakan untuk Konstruksi bangunan; geornaterial, yang lebih berkonsentrasi pada bangunan yang berasal dari bahan tanah dan batuan; teknik sipil tradisional, yang berkaitan bangunan-bangunan tradisional dan tingkat budaya masyarakat kita. Selain itu, bidang geoteknik, yang merupakan bidang ilmu tersendiri dan menitikberatkan pada aplikasi teknik sipil dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan sifat mekanis tanah dan batuan (Suryolelono, 1996a). Geoteknik sebenamya merupakan gabungan beberapa disiplin ilmu yaitu mekanika, yang mempelajari karakteristik mekanis atau tingkah laku massa benda, bilamana dikenai gaya; bahan, yang mernpelajari karakteristik fisis (ukuran butiran, komposisi, gesekan, lekatan, kepadatan, permeaWlitas, dan sifat plastisnya); hidraulika, yang mempelajari karakteristik hidraulisnya terutama berkaitan dengan aliran air melalui media porus; dan lingkungan, yang mempelajari pengaruh/dampaknya terhadap lingkungan.
Geoteknik itu sendiri terdiri atas dua bidang pokok, yaitu ilmu dasar dan aplikasinya (Holtz dan Kovacs, 1981). limu dasar dalam bidang geoteknik adalah mekanika tanah (soil mechanics), yang mempelajari sifat-sifat fisis dan mekanis tanah; mekanika batuan (rock mechanics), yang mempelajari sifat-sifat fisis dan mekanis batuan, serta geologi teknik (engineering geology), sedangkan aplikasi ilmu. dasarnya adalah teknik fondasi (foundation engineering), yang mempelajari fondasi dari berbagai bangunan baik bangunan gedung dari tingkat sederhana sampai dengan bangunan tinggi, bangunan air, bangunan lepas pantai, bangunan jalan, lapangan terbang, dermaga dan lain-lain; teknik batuan (rock engineering), yang seperti teknik fondasi namun orientasi fondasi tidak pada tanah tetapi pada batuan (konstruksi terowongan, pusat tenaga listrik bawah muka tanah, reservoir bahan energi bawah muka tanah, atau suatu galian dalam, dan lain-lain); stabilitas lereng, yang mempelajari tentang kondisi lereng dalam keadaan labil atau mantab, lereng dalam sekala kecil maupun besar, lereng alam atau buatan, dalam tinjauan dua dimensi atau tiga dimensi, serta mitigasi dan penanggulangannya.
Akhir-akhir ini, sering te~adi bencana tanah longsor, yang dikaitkan dengan datangnya musim hujan. Bencana tanah longsor (landslides) pada tahun lalu maupun di saat musim penghujan sekarang ini, banyak terjadi di Indonesia seperti di daerah Cilacap, Purworejo, Kulonprogo, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Surnatera dan lokasi lainnya di tanah air, bahkan tedadi di tengah kota seperti di Jakarta, Semarang, Jogjakarta dan di kota lainnya. Peristiwa tanah longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada lerenglereng alam atau buatan, dan sebenarnya merupakan fenomena alam, yaitu alarn mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan te~jadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah (Anonim, 2000).
Kontribusi pengurangan kuat geser tanah pada lereng alam yang mengalami longsor disebabkan oleh faktor yang dapat berasal dari alam itu sendiri, erat kaitannya dengan kondisi geologi antara lain jenis tanah, tekstur (komposisi) dari pada tanah pembentuk lereng sangat berpengaruh terjadinya longsoran, misalnya sensivitas sifatsifat tanah lempung, adanya lapisan tanah shale, loess, pasir lepas, dan bahan organik. Bentuk butiran tanah (bulat, ataupun tajam) berpengaruh terhadap friksi yang terjacli dalam tanah, pelapisan tanah, pengaruh gempa, geomorfologi (kemiringan daerah), iklim, terutama hujan dengan intensitas tinggi atau seclang, dengan durasi yang lama di awal musim hujan, atau menjelang akhir musim hujan, menimbulkan perubahan parameter tanah yang berkaitan dengan pengurangan kuat gesernya. Pada batuan pengurangan kuat geser dapat diakibatkan oleh adanya diskontinuitas, sifat kekakuan, arah bedding,joint, orientasi lereng, derajat sementasi batuan misalnya konglomerat, batuan pasir, breksi, dan lain-lain. Variasi muka air di reservoir bendungan seperti yang terjadi pada bendungan Vaiont di Italia, merupakan salah satu contoh penyebab lemahnya bidang kontak pelapisan batuan (bedding) pembentuk lereng di sekitar waduk (reservoir) dengan orientasi miring ke arah waduk. Selain tekstur tanah, pengaruh fisik dan kimia dapat mempengaruhi, terhadap pengurangan kuat geser. Pengaruh fisik antara lain lemahnya retakan-retakan yang terjadi pada tanah lempung, hancurnya batuan breksi (disintegrasi) akibat perubahan temperatur, proses hidrasi terutama pada jenis tanah lempung berkaitan dengan meningkatnya tegangan air pori, oversaturation lapisan tanah berbutir halus (loess). Pengaruh kimia dapat diakibatkan oleh larutnya bahan semen dalam batuan pasir dan konglomerat.
Kontribusi peningkatan tegangan geser disebabkan oleh banyak faktor antara lain phenomena variasi gaya intergranuler yang diakibatkan oleh kadar air dalam tanah/batuan yang menimbulkan tedadinya tegangan air pori, serta tekanan hidrostatis dalam tanah meningkat. Variasi pembentuk batuan dan tekstur tanah, retakan-retakan yang terisi butiran halus, diskontinuitas, pelapukan dan hancurnya batuan yang menyebabkan lereng terpotong-potong, atau. tersusunnya kembali butiran-butiran halus.
Faktor lain yang berpengaruh adalah bertambah berat beban pada lereng dapat berasal dari alam itu sendiri, antara lain air hujan yang berinfiltrasi ke dalam tanah di bagian lereng yang terbuka (tanpa penutup vegetasi) menyebabkan kandungan air dalam tanah meningkat, tanah menjadi jenuh, sehingga berat volume tanah bertambah dan beban pada lereng semakin berat. Pekerjaan timbunan di bagian lereng tanpa memperhitungkan beban lereng dapat menyebabkan lereng menjadi rawan longsor. Pengaruh hujan dapat te~adi di bagian lerenglereng yang terbuka akibat aktivitas mahluk hidup terutama berkaitan dengan budaya masyarakat saat ini dalam memanfaatkan alam berkaitan dengan pemanfaatan lahan (tata guna lahan), kurang memperhatikan pola-pola yang sudah ditetapkan oleh pernerintah. Penebangan hutan yang seharusnya tidak diperbolehkan tetap saja dilakukan, sehingga lahan-lahan pada kondisi ler'eng dengan geomorphologi yang sangat miring, menjadi terbuka dan lereng menjadi rawan longsor. Kebiasaan masyarakat dalam mengembangkan pertanian/perkebunan tidak memperhatikan kemiringan lereng, pembukaan lahan-lahan baru di lereng-lereng bukit menyebabkan permukaan lereng terbuka tanpa pengaturan sistem tata air (drainase) yang seharusnya, dan bentukbentuk teras bangku pada lereng tersebut perlu dilakukan untuk mengerem laju erosi. Bertambahnya penduduk menyebabkan perkembangan perumahan ke arah daerah perbukitan (lereng-lereng bukit) yang tidak sesuai dengan peruntukan lahan (tata guna lahan), menimbulkan beban pada lereng (surcharge) semakin bertambah berat. Erosi di bagian kaki lereng akibat aliran sungai, atau gelombang air laut mengakibatkan lemahnya bagian kaki lereng, tedadinya kernbang susut material pembentuk lereng, dan lain-lain menyebabkan terjadinya peningkatan tegangan geser.
Pengaruh gempa juga menyebabkan kondisi lereng yang sebelumnya cukup stabil menjadi labil. Kondisi ini dapat terjadi, akibat goncangan pada lapisan tanah di bumi, menimbulkan struktur
tanah menjadi berubah. Pada jenis-jenis tanah berbutir kasar dalam kondisi kering akan menyebabkan butiran-butiran ini merapat, namun untuk jenis tanah yang sama dalam kondisi jenuh dan te~ebak dalam lapisan tanah lempung yang membentuk lensa-lensa pasir, apabila terjadi gempa akan mengalami peristiwa 1equefaction. Akibat pengaruh gempa tegangan pori (u) dalam lapisan tanah pasir (lensa-lensa pasir) ini meningkat, mengakibatkan tegnagan efektif tanah (C;') menurun dan bahkan mencapai nilai terendah (= 0). Hal ini berarti tanah kehilangan kuat~ dukungnya, berakibat tanah pembentuk lereng di atas lapisan ini runtuh, timbul masalah tanah longsor. Selain itu, apabila lapisan tanah lempung terletak di atas lapisan batuan keras (bed rock), akibat pengaruh gempa pada ke dua massa yang berbeda (tanah dan batuan) mempunyai percepatan yang berbeda, sehingga bidang kontak ke dua lapisan ini menjadi bagian yang lemah.
Munculnya sumber-sumber air di bagian kaki lereng akibat te~adi rembesan air menimbulkan terjadinya peristiwa erosi buluh (piping). Pada kondisi ini tanah di bagian kaki lereng kehilangan kuat dukungnya dan bahkan mendekati harga sama dengan nol, sehingga perlawanan terhadap gaya yang melongsorkan menurun, dan lereng menjadi rawan longsor.
Demikian pula pada lereng buatan dapat berupa lereng galian, lereng bendungan, lereng timbunan sampah (Chowdhury, 1978). Keruntuhan lereng buatan dapat terjadi disebabkan oleh faktor-faktor yang sama dengan lereng alam yaitu pengurangan kuat geser dan penambahan tegangan geser pada lapisan tanah pembentuk lereng. Lereng galian merupakan lereng yang direncanakan dengan menentukan rerata tinggi galian dan kerniringan galian tersebut, sehingga lereng tetap stabil (aman) sementara itu aspek ekonomi tetap menjadi pertimbangan. Umur lereng galian harus dijaga agar tetap stabil sesuai dengan tipe peke~aan seperti tambang dan bangunan teknik sipil lainnya. Kesulitannya adalah meramalkan terhadap kontrol stabilitas dan pemeliharaan. Lereng timbunan dan bendungan tergantung pada sifat mekanis dari bahan yang digunakan untuk konstruksi timbunan dan bendungan yang diperoleh dari hasil uji di laboratorium atau in situ untuk menentukan komposisi tanah dan timbunan batu, derajat pernadatan. Konstruksi timbunan dan bendungan pada tanah dasar fondasi merupakan tanah kohesif membutuhkan tahap-tahap konstruksi sesuai dengan tin9kat kOnsolidasi dengan kontrol kecePatan (rate) pembebanan agar diperoleh tingkat kepadatan tanah dasar fondasi mampu mendukung beban di atasnya. Konsolidasi tanah inipun dapat dipercepat dengan menempatkan drain vertikal (Suryolelono, 2000a).
Gerakan lereng tidak stabil merupakan gerakan yang dibedakan sebagai gerakan guguran (falls), runtuhan (top~les), longsoran (slides), penyebaran (lateral spreads), aliran (flow), dan gerakan kompleks yang merupakan kombinasi dari berbagai gerakan tersebut (Varnes, 1978) dalam Giani, 1992. Semua bentuk gerakan ini sangat ditentukan oleh formasi geologi yaitu lapisan batuan, lapukan batuan dan tanah. Ungsoran yang terjadi akan membentuk suatu pola baik di permukaan lereng maupun bentuk bidang gelincimya. Pola longsoran di bagian permukaan lereng akan membentuk pola tapal kuda, bidang ,longsor seJaiar arah kaki lereng, hummocky (bentuk busur-busur keeil) (Suryolelono, 1995b), sedang bentuk bidang longsor dapat merupakan satu atau lebih permukaan bidang longsor dengan bentuk silindris (tampang lingkaran) atau datar (tampang garis). Longsoran dengan bentuk bidang gelincir datar (translation slides), apabila bentuk bidang gelincir adalah bidang datar ke arah kaki lereng. Hutchinson (1988) dalam Giani (1992) membedakan dalam beberapa tipe yaitu sheet, slab, debris slides, dan sudden spreadfailure. Longsoran dengan bentuk bidang gelincir dengan tampang lingkaran (rotation slides) sering dengan bentuk seperti bagian lengkung silinder, cekung ke atas, dan terJadi pada lereng dengan material lempung homogen, material granuler, atau batuan masif. Namun bentuk tersebut sering tidak cekung ke atas, karena adanya pengaruh joint, bedding, faults, atau tidak homogennya lapisan tanah, mengakibatkan bidang longsor tidak mengikuti bentuk busur lingkaran, tetapi merupakan bidang lengkung dan datar. Hutchinson (1998) dalam Giani (1992) membedakan tiga tipe utama bentuk tampang bidang gelincir adalah satu lingkaran, lebih dari satu lingkaran, dan terbentuk secara berturut-turut. Bentuk bidang gelincir yang umum terjadi di Indonesia merupakan tipe longsoran dengan bidang gelincir bentuk lingkaran (rotational slides), dan datar dengan tipe slab slides atau rock slides. Kadang-kadang gerakan Iongsor merupakan gerakan yang sangat kompleks yaitu kombinasi dari rotational slides, translational slides atau bentuk-bentuk lainnya.
Dalarn bidang geoteknik, untuk menyatakan lereng aman terhadap terjadinya longsoran, dilakukan analisis dengan pendekatan model matematik dua dimensi untuk berbagai bentuk bidang longsor datar, lengkung (lingkaran), atau kombinasi ke duanya. Dalarn analisis ini umumnya dicari besarnya angka aman (factor of safety-FOS) yang merupakan fungsi tegangan geser (T). Pendekatan yang digunakan dalarn metode ini adalah keseimbangan batas, dan bentuk bidang longsor dalam dua dimensi, namun lereng tanah perlu dipertimbangkan sebagai suatu sistem tidak kenyang air sampai dengan kenyang air. Letak muka air tanah (phreatic water surface) di daerah perbukitan umumnya dalarn atau dangkal, sehingga kondisi tanah pada waktu-waktu tertentu kering (musim kemarau) dan di waktu musim hujan, tanah menjadi kenyang air. Di awal musim hujan, kondisi tanah sebagian pori tanah terisi air atau dalam kondisi tidak kenyang air. Selain itu, jenis tanah merupakan parameter yang harus dipertimbangkan pula, berhubungan dengan sifat fisis dan mekanis tanah akibat pengaruh air.
Analisis mekanisme tanah longsor yang selama ini digunakan, umumnya untuk lereng jenuh dengan memperhitungkan tegangan air pori positif, namun pada kondisi tanah belum cukup kenyang air (unsaturated), tegangan air pori dapat bemilai negatif menimbulkan terjadinya gaya sedot (soil suction atau matrix suction) dan berpengaruh terhadap kuat geser tanah (shear strength). Oleh karena itu, dalam melakukan tinjauan analisis mekanisme tanah longsor, harus dipertimbangkan kondisi lereng yang merupakan suatu sistern menyeluruh dari kondisi tanah tidak kenyang air sampai dengan kenyang air. Abramson, dkk. (1996), Rahardjo, dkk. (2002) menyatakan ada dua parameter bebas yang berpengaruh terhadap tegangan dalarn tanah dengan kondisi tidak kenyang air (ruang pori tanah sebagian terisi udara dan sebagian air), tegangan netto (a -u,,), dan matrix suction (Ua U,) (dengan cy : tegangan total, Ua : tegangan udara (gas) pori, dan u, : tegangan air pori). Pada kondisi tanah kenyang air, maka seluruh ruang pori tanah terisi air, tegangan air pori (u,) akan sama dengan tegangan udara pori (u.), sehingga matrix suction (u,, u,,) diabaikan (= 0). Oleh karena itu, parameter tegangan dalarn tanah menjadi tegangan efektif ((Y - u,). Tampak pengaruh air terutama air hujan yang berinfiltrasi ke dalam tanah, menimbulkan perubahan pada. ke dua parameter ini, dan memberikan pengaruh terhadap tegangan geser serta volume tanah yang merubah sifat-sifat tanah.
Tegangan air pori (u,) di atas zona muka air tanah (phreatic surface) umumnya te~adi akibat tegangan air pori berada di bawah tegangan atmosfir (udara). Besarnya tegangan pori negatif atau dikenal sebagai soil suction atau matrix suction tergantung besarnya tegangan permukaan pada batas udara dan air yang menyelimuti butiran tanah. Umumnya untuk tanah berbutir halus mempunyai matrix suction yang tinggi (Wong, 1970 dalam Abramson, dkk. 1996). Matrix suction meningkatkan tegangan efektif dalam seluruh massa tanah dan memperbaiki stabilitas lereng (peningkatan matrix suction berdasarkan hubungan c = c' + (Ua - UO- tan(Pb (Ho & Fredlund, 1982, dalarn Abramson, dkl~., 1996) dengan c : kohesi total tanah, c' : kohesi efektif, (Ua - UO : matrix suction, (Pb : suatu sudut yang menunjukan variasi pertambahan kuat geser relatif terhadap matrix suction (Ua U')). Matrix suction berkurang apabila kondisi tanah berangsur-angsur menjadi kenyang air (selama dan sesudah hujan lebat dengan durasi lama). Pada kondisi tanah kenyang air, besarnya kuat geser tanah (shear strength of soil) dinyatakan sesuai hubungan Coulomb (,r = c' + cr'tan(p' dan cr' = cy - u, (Coulomb, 1776, dalam Braja, 1994 dengan ,r : kuat geser tanah, c' kohesi efektif, (Y' tegangan efektif, cr tegangan total, u, tegangan air pori, dan (p' sudut gesek internal efektif tanah). Untuk kondisi tanah tidak kenyang air (unsaturated), besarnya kuat geser tanah dipengaruhi oleh matrix suction (Tff = c' + (CFf - Ua)f.tan(P' + (u,, - u,)f. tanW, dan c = c' + (Ua - U,)f- tanTb dengan c : total kohesi tanah, c' kohesi efektif, (ua - u,)f : matrix suction pada. kondisi runtuh, ((Tf Ua)f : tegangan normal netto pada kondisi runtuh, (p' : sudut gesek internal efektif atau sudut gesek internal berhubungan dengan tegangan normal netto (Abramson, dkk., 1996; Fredlund, dkk., 1978)). Tampak pada kondisi tanah tidak kenyang air, besarnya kuat geser tanah meningkat dengan bertambalmya nilai kohesi, dan ada tambahan akibat matrix suction, sehingga pada kondisi ini lereng menjadi lebih aman. Oleh karena itu, salah satu metode untuk membuat lereng menjadi aman (stabil) adalah kondisi tanah dibuat tidak kenyang air. Salah satu usaha untuk mernbuat lereng tidak kenyang air adalah menempatkan suatu sistern drainase bawah permukaan lereng (sub surface drainage) dengan memperhitungkan curah hujan yang terjadi di daerah tersebut. Tujuannya adalah agar sistem drainase mampu mengalirkan sebagian air yang meresap ke dalam tanah untuk mengurangi kandungan air dalam tanah.
Selain analisis dengan pendekatan model matematik dua dimensi, model matematik tiga dimensi untuk keruntuhan lereng telah dikembangkan dengan memanfaatkan mekanika kontinum. Dasar pernecahan analisis ini menggunakan persamaan Navier-Stokes, pengembangan persamaan kontinuitas untuk cairan tidak pampat, dan criteria Coulomb (Fathani, dkk., 2002). Pengembangan model analisis ini dengan membuat suatu program komputer LSFLOW yang masih terus dilakukan.
Keruntuhan lereng dapat terjadi karena berkurangnya/menurifnnya kernampuan kuat geser tanah secara perlahan-lahan atau mendadak atau perubahan kondisi geometri lereng akibat galian misalnya, sehingga lereng menjadi curam. Parameter penting yang dibutuhkan dalam analisis stabilitas lereng adalah kuat geser, geometri lereng, tegangan air pori atau gaya rembesan, dan beban serta'kondisi lingkungan sekitar lereng. Konsep stabilitas lereng menggunakan metode analisis dalarn memprediksi kestabilan lereng tanah untuk dua dimensi telah banyak dikembangkan oleh ahli-ahli geoteknik. Umumnya untuk menyatakan lereng dalarn kondisi stabil (mantab) dinyatakan dengan angka aman (FOS) yang merupakan rasio antara gaya atau momen yang melawan terjadinya longsor dan gaya atau momen yang melongsorkan. Besamya angka aman disesuaikan dengan beban yang bekerja, untuk kondisi beban normal artinya beban yang beketja terus menerus pada lereng mempunyai nilai 1,5-2, sedang untuk beban sernentara (misal : beban gernpa) digunakan angka. arnan lebih rendah yaitu 1,1-1,2, karena. beban ini bekerja dalam waktu relatif pendek. Konsep stabilitas lereng adalah menggunakan metode keseirnbangan batas (limit equilibrium) dengan lereng yang diperkirakan akan runtuh dibagi-bagi menjadi 8-15 pias. Metode ini antara. lain : Ordinary Method of Slice (OMS) dikembangkan oleh Fellenius (1927, 1936). Dalam analisisnya Fellenius mengabaikan keseirnbangan gaya. di kedua sisi pias dan massa tanah yang diperkirakan akan runtuh sebagai satu kesatuan. Metode ini merupakan metode dengan prosedur paling sederhana serta sebagai dasar sernua metode selanjutnya. Bishop simplified (1955) meniadakan sernua. gaya geser antar pias, narnun keseirnbangan gaya horisontal diperhitungkan secara keseluruhan. Janbu (1954, 1957, 1973) dengan anggapan seperti metode Bishop simplified narnun tidak meninjau keseirnbangan. mornen, Lowe dan Karafiath (1960) menganggap gaya-gaya. antar pias membentuk sudut sebesar rerata sudut alas dan atas pias. Corps of Engineers (1982) dengan anggapan. kemiringan gaya-gaya. antar pias sarna dengan kerniringan lereng atau sama dengan rerata. Sudut kerniringan. ujung-ujung pennukaan bidang runtuh. Spencer (1967, 1973) dalarn Winterkorn dan Fang, 1975, beranggapan. besarnya. gaya- gaya antar pias adalah sarna, narnun tidak diketahui arahnya. Sarma. (1973), dan Morgenstern & Price (1965) dalam Winterkorn dan Fang, 1975, menggunakan fungsi distribusi gaya antar pias. Fredlund dan Rahardjo (1993) cenderung meninjau kondisi lereng sebagai suatu lapisan tanah yang tidak kenyang air (unsaturated), sedang metode lainnya. dengan anggapan tanah dalarn konsidi kenyang air (saturated) atau kondisi kering. Dua metode yaitu Fellenius dan Bishop hanya dapat digunakan, apabila. bentuk bidang gelincir berbentuk tarnpang lingkaran, sedangkan bentuk bidang gelincir tidak berbentuk lingkaran menggunakan metode Janbu, Corps of Engineers, Lowe dan Karafiath, sedang analisis stabilitas lereng untuk lereng tidak kenyang air menggunakan metode Fredlund dan Rahardjo, narnun untuk mengetabui metode mana yang paling cocok, digunakan metode GLE (General Limit Equilibrium) yang mendasarkan pada keseimbangan gaya. dan keseirnbangan momen. Cara analisis ini baru dapat dilakukan, apabila sudah didapatkan parameter-perameter tanah dari hasil uji geoteknik di lapangan maupun di laboratorium. Dalam melakukan uji lapangan perlu dilakukan secara teliti untuk mendapatkan data yang akurat, danmewakili seluruh daerah yang diuji. Berbagai uji lapangan dapat digunakan untuk mendapatkan letak bidang gelincir antara lain dengan alat uji penetrasi statis (Suryolelono, 1996b), atau dinamis, dan selanjutnya diambil sampelnya untuk uji laboratorium guna mendapatkan parameter tanah.
Konsep metode analisis tiga dimensi keruntuhan lereng adalah tegangan geser pada setiap titik selalu berubah berdasarkan waktu dan lokasinya, dengan bidang longsor yang tidak selalu berbentuk busur lingkaran. Perbedaan konsep metode analisis dua dimensi dengan tiga dimensi keruntuhan lereng adalah pada metode dua dimensi tegangan geser sepanjang permukaan bidang longsor adalah konstan, sedang pada metode tiga dimensi, pada setiap titik tinjauan selalu berubah berdasarkan. fungsi waktu. dan tempatnya (Nakamura, dkk., 1989; Sasa, 1987).
Dari hasil analisis tersebut, apabila lereng dinyatakan labil, maka. diperlukan usaha untuk mengantisipasinya. Metode stabilitas lereng umumnya, mengurangi gaya yang melongsorkan atau menyebabkan lereng tanah tersebut longsor (bergerak turun) ke arah kaki lereng, memperbesar gaya perlawanan terhadap gaya yang melongsorkan, atau kombinasi ke duanya. Secara umum metode stabilitas lereng ini dapat dilakukan secara fisis, mekanis, khemis, dan bio engineering dengan memperhatikan kondisi lereng yang labil, sehingga dapat ditentukan metode yang paling tepat.
Metode stabilitas lereng secara fisis merupakan metode yang paling sederhana, namun hasilnya dapat diandalkan. Usaha stabilisasi dengan membuat lereng lebih landai, sehingga lereng menjadi tidak curam, atau mengurangi beban di bagian atas lereng dengan memindahkan material di bagian puncak lereng ke kaki lereng, menempatkan konstruksi bahu lereng (benn) merupakan usaha untuk melandaikan lereng. Penempatan pratibobot (counterweight-merupakan konstruksi timbunan batu atau tanah di bagian kaki lereng), memberikan hasil yang memuaskan, namun diperlukan ruangan (space) yang cukup luas, karena berkaitan dengan usaha galian dan timbunan. Teknik ini adalah mengurangi gaya yang melongsorkan akibat massa tanah yang bergerak turun atau menambah besamya perlawanan geser.
Usaha lain untuk membuat lereng tetap stabil dengan menempatkan sistern drainase permukaan (surface drainage) atau bawah permukaan (sub surface drainage) yang mampu untuk mengevakuasi sebagian air terutama air hujan yang berinfiltrasi ke dalarn tanah, agar tanah/batuan pembentuk lereng tidak menjadi dalam kondisi jenuh air. Air hujan yang berinfiltrasi ke dalain tanah menyebabkan muka air tanah naik, sehingga memperbesar tekanan hidrostatis pada lereng tersebut. Selain itu, akibat tekanan rembesan dapat menimbulkan terjadinya peristiwa erosi buluh (piping) di bagian lereng, dan semakin lama semakin besar sesuai dengan perkembangan debit aliran rembesan. Pada lereng-lereng yang menunjukan gejala munculnya mata air rembesan di bagian kaki lereng setelah te~adi hujan, merupakan suatu indikasi bahwa lereng ini tidak mantab (labil). Berbagai bentuk drainase permukaan dapat berupa selokan atau parit drain, dan drainase bawah permukaan antara lain drain horisontal, lapisan drain, relief drain dan terowongan drain telah banyak digunakan, dan hasilnyapun dapat diandalkan (Suryolelono, 1993, 1999).
Cara mekanis dalarn usaha stabilisasi lereng dilakukan apabila ruangan yang tersedia sangat sempit, artinya bila cara fisis sangat sulit untuk diterapkan, barulah dilakukan dengan cara mekanis. Cara ini dengan menempatkdn konstruksi penahan tanah konvensional, atau metode baru yaitu perkuatan tanah (soil reinfoercement), pengangkeran tanah (soil nailling), namun keberhasilan konstruksi ini akan lebih baik, apabila didukung dengan sistern drainase permukaan maupun bawah permukaan, dan pada konstruksi penahan tanah itu sendiri.
III.Kegagalan Konstruksi.
Kegagalan konstruksi penahan tanah konvensional yang te~adi di kota Semarang (Forum, Maret 2002; Kedaulatan Rakyat, 17, 18, 20, 23 Februari 2002), runtuhnya candi Selogriyo (Suryolelono, 1995b; 1996), karena buruknya sistern drainase pada. konstruksi penahan tanah, dan sistern drainase di sekitar konstruksi itu. Cara lain untuk mengantisipasi gerakan tanah ini dengan memancang tiang atau turap (sheet pile) di bagian lereng yang longsor, namun tiang atau turap harus cukup panjang dan melewati bidang longsor, sehingga efektif untuk menghambat turunnya material tanah yang longsor.
Metode stabilisasi dengan cara khemis merupakan usaha mencampur bahan tanah dengan semen (soil cement-shotcrete), atau bahan kapur, abu sekarn padi (ASP-abu sekarn padi-RHA-rice husk ash) (Suryolelono & Fathani, 2000), abu terbang (fly ash), sementasi (grouting) untuk meningkatkan kuat geser tanah, namun pemanfaatan bahan kimia ini perlu dipertimbangkan pengaruhnya terhadap lingkungan.
Bio engineering merupakan suatu usaha stabilisasi lereng dengan menutup lereng-lereng yang terbuka dengan tanaman. Tujuan dari usaha ini, agar air hujan sebagai pemicu gerakan lereng dapat ditahan sementara, atau tidak segera infiltrasi ke ' dalarn tanah, namun metode ini membutuhkan waktu lama. Umumnya metode ini digunakan apabila lereng diindentifikasi rawan terhadap erosi dan berakibat lanjut lereng longsor. Jenis tanaman yang direkomendasi oleh Bank Dunia seperti jati, akasia, johar, pinus mahoni, kemiri, damar dan lainlain, perlu disesuaikan dengan kondisi lereng setempat dan atas saransaran dari para ahli di bidang yang berkaitan. Mengurangi atau menghindari pembangunan teras bangku di lereng-lereng rawan longsor tanpa dilengkapi dengan saluran pembuangan air (SPA) dan saluran drainase bawah permukaan tanah untuk menurunkan muka air tanah, mengurangi intensifikasi pengolahan tanah di daerah rawan longsor (Soedjoko, 2000) merupakan salah satu usaha stabilisasi lereng rawan longsor. Umumnya usaha penanggulangan kelongsoran lereng yang digunakan merupakan kombinasi baik cara fisis, mekanis, khemis atau bio engineering, untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Keruntuhan lereng yang terjadi di Indonesia didominasi akibat sistim drainasi lereng yang buruk atau sistem drainasi yang ada mengalami gangguan. Keruntuhan lereng yang terjadi di dusun Klepu desa Banjararurn Kecamatan Kallbawang tahun lalu, sebagai salah satu contoh terganggunya sistem drainase alam (torrencial river, avfoer, gully) yang ada, akibat tertutup/terpotong jalan aspal yang menghubungkan dusun Klepu dengan daerah lainnya Degan, Nogosari (Kedaulatan Rakyat, 30 November, 2001). Jika terjadi hujan, air yang jatuh di pen-nukaan lereng akan tertahan oleh jalan ini, sehingga terjadi akumulasi air di bagian kaki lereng (sebagian menyebar mencari jalannya sendiri, dan sebagian infiltrasi ke dalmn tanah), akibatnya tanah di bagian kaki lereng menjadi kenyang air, berakibat karakteristik tanah menurun drastis, terjadi penurunan kuat geser tanah, dan lereng menjadi rawan longsor. Dernikian pula halnya runtuhnya Candi Selogroyo di desa Kembangkuning, Kecarnatan Windusari, Kabupaten Magelang, akibat terjadinya akumulasi air di bagian kaki lereng. Penyebab utarna keruntuhan lereng di lokasi Candi Selogriyo adalah bangunan pelimpah konstruksi pengambilan air (captering) yang terletak di sebelah hulu Candi Selogriyo tidak mampu mengalirkan air yang melimpah ke sungai torrencial, sehingga air menyebar secara horisontal. masuk melewati bidang kontak antara lapisan tanah keras (bed rock) dan tanah residual di atasnya (Suryolelono, 2000). Bencana tanah longsor di Desa Penusupan Kecarnatan Sruweng Kabupaten Keburnen, juga didahului dengan munculnya mata air di kaki lereng (piping) yang dalam bahasa daerahnya adalah "lernahe ngetuk" (Kedaulatan Rakyat, 8 Oktober, 2001), dernikian pula bencana tanah longsor di daerah Kulonprogo, Purworejo dan tempat-tempat lainnya selalu didahului dengan tandatanda munculnya mata air di bagian kaki lereng. Bencana di lokasi pernandian air panas di kaki Gunung Welirang, Pacet, Mojokerto, baru-baru ini merupakan satu contoh lagi terganggunya sistern drainase yang ada. Sistern drainase (sungai) alarn yang ada tidak marnpu mengalirkan debit aliran sungai pada saat itu, sehingga air mencari jalannya sendiri dengan menggerus lapisan tanah yang merupakan endapan vulkanik. Tanah yang telah bercarnpur air bergerak sangat cepat dikenal dengan lahar dingin atau mud (earth) flow, mernpunyai kernarnpuan merusak sangat dahsyat. Keruntuhankeruntuhan lereng yang dipicu oleh hujan umurnnya disebabkan oleh buruknya sistern drainase yang ada, bahkan tidak ada, sehingga air mencari jalannya sendiri. Munculnya aliran air dernikian besar, sehingga sungai-sungai (dr~inase) alarn tidak marnpu melewatkan debit aliran, disebabkan oleh faktor-faktor antara lain rusaknya daerah penyangga hujan
IV.Referensi
- www.google.com
- www.caripdf.com
- Mekanika Tanah 1,Hary Cristady Hardiyatmo,UGM
Minggu, 31 Januari 2010
Planologi dalam perkembangannya
PLANOLOGI(TKS 217)
Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan (RKBM)
PENATAAN RUANG
DASAR HUKUM
1. UU No. 26 Tahun 2007 ttg Penataan Ruang
2. UU No. 32 Tahun 2004 ttg Pemerintahan Daerah;
3. PP No. 96 Tahun 1996 ttg Hak dan Kewajiban serta Tata Cara Peran serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang
4. Kepmendagri No. 147 Tahun 2004 ttg Pedoman Koordinasi Penataan Ruang
PENGERTIAN RUANG
• Merupakan wadah tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
• Terbatas dan jumlahnya relatif tetap.
• Merupakan sumber daya alam yang harus dikelola bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
• Harus dilindungi dan dikelola secara terkoordinasi, terpadu, dan berkelanjutan
PENGERTIAN PENATAAN RUANG
Penataan ruang adalah : Suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang (UU No. 26/2007)
Azas penataan ruang adalah :
a) Keterpaduan;
b) Keserasian, keselarasan dan keseimbangan;
c) Keberlanjutan;
d) Keterbukaan, kebersamaan dan kemitraan;
e) Perlindungan kepentingan umum
f) Kepastian hukum dan keadilan, dan
g) Akuntabilitas
Tujuan PENATAAN RUANG
• Aman à dalam pemanfaatannya memberikan rasa aman, baik user maupun ekologi.
• Nyaman à memberi kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk mengartikulasikan nilai-nilai sosial budaya dan fungsinya sebagai manusia
• Produktif à proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat sekaligus meningkatkan daya saing.
• Berkelanjutan à kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, tidak hanya untuk kepentingan generasi saat ini, namun juga generasi yang akan datang.
PERAN PENATAAN RUANG DALAM PEMBANGUNAN
• Menjamin keterpaduan pembangunan lintas sektor, lintas wilayah dan antar pemerintah, swasta & masyarakat
• Menjamin agar pembangunan dapat berkelanjutan dari aspek ekonomi, sosial & lingkungan.
• Mengarahkan dan menterpadukan pengembangan infrastruktur sebagai prasyarat berlangsungnya berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat
• Menjadi bagian dari upaya penyelesaian menghadapi tantangan aktual pembangunan, a.l :. meningkatnya aglomerasi perkotaan, kesenjangan antar wilayah, alih fungsi lahan yang tidak terkendali, berkurangnya luas hutan tropis, meningkatnya kerusakan satuan wilayah sungai, Fenomena bencana alam, dll.
Perencanaan Tata Ruang
UU 24/1992 dan UU 26/2007
1. KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG
KEBIJAKAN DAN RENCANA TATA RUANG
1. Kebijakan dan Rencana Pengembangan Struktur Ruang
2. Kebijakan dan Rencana Pengembangan Prasarana dan Sarana
3. Kebijakan dan Rencana Pola Pemanfaatan Ruang
4. Kebijakan Pengendalian Pemanfaatan Ruang
5. Kebijakan dan Rencana Kawasan Strategis
STRATEGI UMUM PENATAAN RUANG
1. Mencegah pertumbuhan berpola sprawl dari kota-kota utama.
2. Mendukung alokasi kesempatan kerja dan kegiatan-kegiatan pada lokasi yang memadai, berdasarkan kriteria lokasi dan sistem tempat pusat.
3. Mengalokasikan kegiatan-kegiatan ekonomi primer (pertanian, perkebunan, hutan produksi, dan lain-lain) pada ruang-ruang yang paling sesuai secara fisik.
4. Mendukung pengembangan sistem transportasi wilayah yang terbaik.
5. Memfasilitasi pemisahan kegiatan-kegiatan polutif dengan kegiatan-kegiatan non-polutif pada semua skala, besar maupun kecil.
6. Mengaplikasikan pendekatan perintah dan kendali (command and control), yang dilengkapi dengan instrumen-instrumen pasar (market based instruments) dalam menangani polusi dan bentuk-bentuk eksternalitas yang Pareto-relevant lainnya.
7. Mendukung konversi penggunaan lahan yang dapat memperkuat dan/atau menciptakan keuntungan komparatif wilayah, sejauh efisiensi sosial ekonomi tetap terjaga.
8. Mendukung usaha-usaha untuk meningkatkan produktifitas penggunaan lahan dalam kondisi efisiensi sosial ekonomi.
9. Mendukung pemanfaatan lahan secara tradisional atau yang berdasarkan kearifan lokal (indigenous), jika ini lebih bisa membawa keadaan yang optimal secara sosial.
10. Memfasilitasi pengembangan kegiatan-kegiatan non-pertanian perdesaan (rural non-farm sector).
11. Memfasilitasi rasio terbaik dari kegiatan-kegiatan padat modal dengan padat karya, terutama jika ekspansi kegiatan padat modal dipandang tidak efisien secara sosial (terjadi Pareto-relevant externality).
2. RENCANA STRUKTUR RUANG
1. Sistem Kota dan Desa;
2. Sistem Jaringan Sarana dan Prasarana;
a. Transportasi;
b. Fasilitas;
c. Utilitas
d. dll.
3. Hirarki Perkotaan/Perdesaan
a. ORDE Kota;
b. PKL;
c. Sub – sub Kegiatan.
1) RENCANA POLA RUANG
1. KAWASAN LINDUNG yg meliputi :
a. KAWASAN YG MEMBERIKAN PERLINDUNGAN KAWASAN BAWAHNYA.
b. KAWASAN PERLINDUNGAN SETEMPAT.
c. KAWASAN SUAKA ALAM.
d. KAWASAN PELESTARIAN ALAM.
e. KAWASAN CAGAR BUDAYA.
f. KAWASAN RAWAN BENCANA ALAM
g. KAWASAN LINDUNG LAINNYA
2. Kawasan Lindung Geologi
1. Kawasan Cagar Alam Geologi
a. Kawasan Batuan dan Fosil
• Yang merupakan batuan yang mengandung jejak atau sisa kehidupan di masa lampau (fosil) dan memiliki nilai Paleo Antropologi dan Arkeologi :
• Yang merupakan batuan dan/atau jejak struktur geologi masa lampau :
b. Kawasan Keunikan Bentang Alam
• Yang memiliki/Berupa Goa-goa
• Yang memiliki bentangan alam berupa Kubah
• Yang memiliki bentang alam berupa kawah : Merapi
c. Kawasan Keunikan Proses Keunikan
• Kawasan lumpur vulkanik
• Kawasan sumber api alami
2. Kawasan Rawan Bencana Alam Geologi
a. Kawasan Rawan Bencana Vulkanik,
b. Kawasan Rawan Bencana Tektonik
3. Kawasan yang Memberikan Perlindungan terhadap Air Tanah
Rawan Bencana Lainnya
Tsunami dan Gelombang Pasang
1. Kawasan rawan tsunami dan gelombang pasang terletak di pesisir selatan
• Disediakan area evakuasi dan peningkatan jalur evakuasi bencana
• Perlu ditingkatkan adalah jalur bantuan makanan ketika bencana terjadi.
2. Kawasan sempadan pantai di kawasan pesisir selatan disarankan tidak digunakan sebagai kawasan permukiman.
Kawasan Perlindungan Lainnya
1. Plasma Nutfah, Biosfer,
2. Perlindungan Bakau,
3. Pengungsian Satwa
4. Perlindungan Terumbu Karang
Arahan Pengelolaan dan Pengendalian
1. Kawasan lindung lain dipertahankan
2. Dikembangkan kawasann wisata dan penelitian
3. Perbaikan kawasan lindung lainnya yang rusak
Variasi Luas Genangan Banjir Hasil Simulasi
Hasil Simulasi Banjir Kota
KAWASAN BUDIDAYA MELIPUTI :
KAWASAN HUTAN PRODUKSI
KAWASAN PERTANIAN
KAWASAN PERIKANAN
KAWASAN PERKEBUNAN
KAWASAN PETERNAKAN
KAWASAN INDUSTRI
KAWASAN PERTAMBANGAN
KAWASAN PERMUKIMAN
KAWASAN WISATA
KAWASAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
KAWASAN STRATEGIS BERDASARKAN
UU TATA RUANG NO. 26/2007
ZONING REGULATION
Perlu dilakukan zoning regulation disamping RTRW, RDTR, RTRK, RTBL
Zoning Regulation DAS Hulu
Flood Plain Zoning Regulation
Berdasarkan arahan RTRW untuk Flood Management termasuk drainase akan ditegaskan dalam Zoning Regulation (Text & Map)
Cara deliniasi floodplain dari hasil Simulasi Banjir
Hasil Simulasi Banjir Kota: Tanggul Bobol
INDIKASI PROGRAM
PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG
Perijinan
Pemantauan
Evaluasi => Analisis Hasil Thd Rencana
Penertiban => Pengenaan Sanksi
Peninjauan Kembali RTRW
Foto-foto banjir
Tanggul B. Solo putus, Babat 1975 Sisa-sisa debris Flash Flood, Bohorok, 05 11 03
Sumber ( bapak Hadi Bapedda Purbalingga)
Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan (RKBM)
PENATAAN RUANG
DASAR HUKUM
1. UU No. 26 Tahun 2007 ttg Penataan Ruang
2. UU No. 32 Tahun 2004 ttg Pemerintahan Daerah;
3. PP No. 96 Tahun 1996 ttg Hak dan Kewajiban serta Tata Cara Peran serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang
4. Kepmendagri No. 147 Tahun 2004 ttg Pedoman Koordinasi Penataan Ruang
PENGERTIAN RUANG
• Merupakan wadah tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
• Terbatas dan jumlahnya relatif tetap.
• Merupakan sumber daya alam yang harus dikelola bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
• Harus dilindungi dan dikelola secara terkoordinasi, terpadu, dan berkelanjutan
PENGERTIAN PENATAAN RUANG
Penataan ruang adalah : Suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang (UU No. 26/2007)
Azas penataan ruang adalah :
a) Keterpaduan;
b) Keserasian, keselarasan dan keseimbangan;
c) Keberlanjutan;
d) Keterbukaan, kebersamaan dan kemitraan;
e) Perlindungan kepentingan umum
f) Kepastian hukum dan keadilan, dan
g) Akuntabilitas
Tujuan PENATAAN RUANG
• Aman à dalam pemanfaatannya memberikan rasa aman, baik user maupun ekologi.
• Nyaman à memberi kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk mengartikulasikan nilai-nilai sosial budaya dan fungsinya sebagai manusia
• Produktif à proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat sekaligus meningkatkan daya saing.
• Berkelanjutan à kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, tidak hanya untuk kepentingan generasi saat ini, namun juga generasi yang akan datang.
PERAN PENATAAN RUANG DALAM PEMBANGUNAN
• Menjamin keterpaduan pembangunan lintas sektor, lintas wilayah dan antar pemerintah, swasta & masyarakat
• Menjamin agar pembangunan dapat berkelanjutan dari aspek ekonomi, sosial & lingkungan.
• Mengarahkan dan menterpadukan pengembangan infrastruktur sebagai prasyarat berlangsungnya berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat
• Menjadi bagian dari upaya penyelesaian menghadapi tantangan aktual pembangunan, a.l :. meningkatnya aglomerasi perkotaan, kesenjangan antar wilayah, alih fungsi lahan yang tidak terkendali, berkurangnya luas hutan tropis, meningkatnya kerusakan satuan wilayah sungai, Fenomena bencana alam, dll.
Perencanaan Tata Ruang
UU 24/1992 dan UU 26/2007
1. KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG
KEBIJAKAN DAN RENCANA TATA RUANG
1. Kebijakan dan Rencana Pengembangan Struktur Ruang
2. Kebijakan dan Rencana Pengembangan Prasarana dan Sarana
3. Kebijakan dan Rencana Pola Pemanfaatan Ruang
4. Kebijakan Pengendalian Pemanfaatan Ruang
5. Kebijakan dan Rencana Kawasan Strategis
STRATEGI UMUM PENATAAN RUANG
1. Mencegah pertumbuhan berpola sprawl dari kota-kota utama.
2. Mendukung alokasi kesempatan kerja dan kegiatan-kegiatan pada lokasi yang memadai, berdasarkan kriteria lokasi dan sistem tempat pusat.
3. Mengalokasikan kegiatan-kegiatan ekonomi primer (pertanian, perkebunan, hutan produksi, dan lain-lain) pada ruang-ruang yang paling sesuai secara fisik.
4. Mendukung pengembangan sistem transportasi wilayah yang terbaik.
5. Memfasilitasi pemisahan kegiatan-kegiatan polutif dengan kegiatan-kegiatan non-polutif pada semua skala, besar maupun kecil.
6. Mengaplikasikan pendekatan perintah dan kendali (command and control), yang dilengkapi dengan instrumen-instrumen pasar (market based instruments) dalam menangani polusi dan bentuk-bentuk eksternalitas yang Pareto-relevant lainnya.
7. Mendukung konversi penggunaan lahan yang dapat memperkuat dan/atau menciptakan keuntungan komparatif wilayah, sejauh efisiensi sosial ekonomi tetap terjaga.
8. Mendukung usaha-usaha untuk meningkatkan produktifitas penggunaan lahan dalam kondisi efisiensi sosial ekonomi.
9. Mendukung pemanfaatan lahan secara tradisional atau yang berdasarkan kearifan lokal (indigenous), jika ini lebih bisa membawa keadaan yang optimal secara sosial.
10. Memfasilitasi pengembangan kegiatan-kegiatan non-pertanian perdesaan (rural non-farm sector).
11. Memfasilitasi rasio terbaik dari kegiatan-kegiatan padat modal dengan padat karya, terutama jika ekspansi kegiatan padat modal dipandang tidak efisien secara sosial (terjadi Pareto-relevant externality).
2. RENCANA STRUKTUR RUANG
1. Sistem Kota dan Desa;
2. Sistem Jaringan Sarana dan Prasarana;
a. Transportasi;
b. Fasilitas;
c. Utilitas
d. dll.
3. Hirarki Perkotaan/Perdesaan
a. ORDE Kota;
b. PKL;
c. Sub – sub Kegiatan.
1) RENCANA POLA RUANG
1. KAWASAN LINDUNG yg meliputi :
a. KAWASAN YG MEMBERIKAN PERLINDUNGAN KAWASAN BAWAHNYA.
b. KAWASAN PERLINDUNGAN SETEMPAT.
c. KAWASAN SUAKA ALAM.
d. KAWASAN PELESTARIAN ALAM.
e. KAWASAN CAGAR BUDAYA.
f. KAWASAN RAWAN BENCANA ALAM
g. KAWASAN LINDUNG LAINNYA
2. Kawasan Lindung Geologi
1. Kawasan Cagar Alam Geologi
a. Kawasan Batuan dan Fosil
• Yang merupakan batuan yang mengandung jejak atau sisa kehidupan di masa lampau (fosil) dan memiliki nilai Paleo Antropologi dan Arkeologi :
• Yang merupakan batuan dan/atau jejak struktur geologi masa lampau :
b. Kawasan Keunikan Bentang Alam
• Yang memiliki/Berupa Goa-goa
• Yang memiliki bentangan alam berupa Kubah
• Yang memiliki bentang alam berupa kawah : Merapi
c. Kawasan Keunikan Proses Keunikan
• Kawasan lumpur vulkanik
• Kawasan sumber api alami
2. Kawasan Rawan Bencana Alam Geologi
a. Kawasan Rawan Bencana Vulkanik,
b. Kawasan Rawan Bencana Tektonik
3. Kawasan yang Memberikan Perlindungan terhadap Air Tanah
Rawan Bencana Lainnya
Tsunami dan Gelombang Pasang
1. Kawasan rawan tsunami dan gelombang pasang terletak di pesisir selatan
• Disediakan area evakuasi dan peningkatan jalur evakuasi bencana
• Perlu ditingkatkan adalah jalur bantuan makanan ketika bencana terjadi.
2. Kawasan sempadan pantai di kawasan pesisir selatan disarankan tidak digunakan sebagai kawasan permukiman.
Kawasan Perlindungan Lainnya
1. Plasma Nutfah, Biosfer,
2. Perlindungan Bakau,
3. Pengungsian Satwa
4. Perlindungan Terumbu Karang
Arahan Pengelolaan dan Pengendalian
1. Kawasan lindung lain dipertahankan
2. Dikembangkan kawasann wisata dan penelitian
3. Perbaikan kawasan lindung lainnya yang rusak
Variasi Luas Genangan Banjir Hasil Simulasi
Hasil Simulasi Banjir Kota
KAWASAN BUDIDAYA MELIPUTI :
KAWASAN HUTAN PRODUKSI
KAWASAN PERTANIAN
KAWASAN PERIKANAN
KAWASAN PERKEBUNAN
KAWASAN PETERNAKAN
KAWASAN INDUSTRI
KAWASAN PERTAMBANGAN
KAWASAN PERMUKIMAN
KAWASAN WISATA
KAWASAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
KAWASAN STRATEGIS BERDASARKAN
UU TATA RUANG NO. 26/2007
ZONING REGULATION
Perlu dilakukan zoning regulation disamping RTRW, RDTR, RTRK, RTBL
Zoning Regulation DAS Hulu
Flood Plain Zoning Regulation
Berdasarkan arahan RTRW untuk Flood Management termasuk drainase akan ditegaskan dalam Zoning Regulation (Text & Map)
Cara deliniasi floodplain dari hasil Simulasi Banjir
Hasil Simulasi Banjir Kota: Tanggul Bobol
INDIKASI PROGRAM
PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG
Perijinan
Pemantauan
Evaluasi => Analisis Hasil Thd Rencana
Penertiban => Pengenaan Sanksi
Peninjauan Kembali RTRW
Foto-foto banjir
Tanggul B. Solo putus, Babat 1975 Sisa-sisa debris Flash Flood, Bohorok, 05 11 03
Sumber ( bapak Hadi Bapedda Purbalingga)
standart beban bangunan
Chapter 5
FLOOD LOADS
5.1 GENERAL
The provisions of this section apply to buildings and other structures
located in areas prone to flooding as defined on a flood
hazard map.
5.2 DEFINITIONS
The following definitions apply to the provisions of this chapter:
APPROVED: Acceptable to the authority having jurisdiction.
BASE FLOOD: The flood having a 1 percent chance of being
equaled or exceeded in any given year.
BASE FLOOD ELEVATION (BFE): The elevation of flooding,
including wave height, having a 1 percent chance of being
equaled or exceeded in any given year.
BREAKAWAY WALL: Any type of wall subject to flooding
that is not required to provide structural support to a building or
other structure, and that is designed and constructed such that,
under base flood or lesser flood conditions, it will collapse in
such a way that: (I) it allows the free passage of floodwaters,
and (2) it does not damage the structure or supporting foundation
system.
COASTAL A-ZONE: An area within a special flood hazard
area, landward of a V-Zone or landward of an open coast without
mapped V-Zones. To be classified as a Coastal A-Zone, the principal
source of flooding must be astronomical tides, storm surges,
seiches, or tsunamis, not riverine flooding, and the potential for
breaking wave heights greater than or equal to 1.5 ft (0.46 m)
must exist during the base flood.
COASTAL HIGH HAZARD AREA (V-ZONE): An area
within a Special Flood Hazard Area, extending from offshore
to the inland limit of a primary frontal dune along an open
coast, and any other area that is subject to high-velocity wave
action from storms or seismic sources. This area is designated
on Flood Insurance Rate Maps (FIRMS) as V, VE, VO, or
Vl-30.
DESIGN FLOOD: The greater of the following two flood
events: (I) the Base Flood, affecting those areas identified as
Special Flood Hazard Areas on the community's FIRM; or
(2) the flood corresponding to the area designated as a Flood
Hazard Area on a community's Flood Hazard Map or otherwise
legally designated.
DESIGN FLOOD ELEVATION (DFE): The elevation of the
design flood, including wave height, relative to the datum specified
on a community's flood hazard map.
FLOOD HAZARD AREA: The area subject to flooding during
the design flood.
FLOOD HAZARD MAP: The map delineating Flood Hazard
Areas adopted by the authority having jurisdiction.
FLOOD INSURANCE RATE MAP (FIRM): An official
map of a community on which the Federal Insurance and
Mitigation Administration has delineated both special flood hazard
areas and the risk premium zones applicable to the community.
SPECIAL FLOOD HAZARD AREA (AREA OF SPECIAL
FLOOD HAZARD): The land in the floodplain subject to
a 1 percent or greater chance of flooding in any given year. These
areas are delineated on a community's FIRM as A-Zones (A, AE,
Al-30, A99, AR, AO, or AH) or V-Zones (V, VE, VO, or Vl-30).
5.3 DESIGN REQUIREMENTS
5.3.1 Design Loads. Structural systems of buildings or other
structures shall be designed, constructed, connected, and anchored
to resist flotation, collapse, and permanent lateral displacement
due to action of flood loads associated with the design flood
(see Section 5.3.3) and other loads in accordance with the load
combinations of Chapter 2.
5.3.2 Erosion and Scour. The effects of erosion and scour shall
be included in the calculation of loads on buildings and other
structures in flood hazard areas.
5.3.3 Loads on Breakaway Walls. Walls and partitions required
by ASCEISEI 24, to break away, including their connections to
the structure, shall be designed for the largest of the following
loads acting perpendicular to the plane of the wall:
I. The wind load specified in Chapter 6.
2. The earthquake load specified in Chapter 9.
3. 10 psf (0.48 k~/m').
The loading at which breakaway walls are intended to collapse
shall not exceed 20 psf (0.96 kN/m2) unless the design meets the
following conditions:
I. Breakaway wall collapse is designed to result from a flood
load less than that which occurs during the base flood.
2. The supporting foundation and the elevated portion of the
building shall be designed against collapse, permanent lateral
displacement, and other structural damage due to the
effects of flood loads in combination with other loads as
specified in Chapter 2.
5.4 LOADS DURING FLOODING
5.4.1 Load Basis. In flood hazard areas, the structural design
shall be based on the design flood.
5.4.2 Hydrostatic Loads. Hydrostatic loads caused by a depth
of water to the level of the DFE shall be applied over all surfaces
involved, both above and below ground level, except that for surfaces
exposed to free water, the design depth shall be increased
by 1 ft (0.30 m).
Reduced uplift and lateral loads on surfaces of enclosed spaces
below the DFE shall apply only if provision is made for entry and
exit of floodwater.
Minimum Design Loads for Buildings and Other Structures
5.4.3 Hydrodynamic Loads. Dynamic effects of moving water
shall be determined by a detailed analysis utilizing basic concepts
of fluid mechanics.
EXCEPTION: Where water velocities do not exceed 10 ft/s (3.05 mls),
dynamic effects of moving water shall be permitted to be converted into
equivalent hydrostatic loads by increasing the DFE for design purposes
by an equivalent surcharge depth, dh, on the headwater side and above the
ground level only, equal to
where
V = average velocity of water in ft/s (mls)
g = acceleration due to gravity, 32.2 ft/s (9.81 m/s2)
a = coefficient of drag or shape factor (not less than 1.25)
The equivalent surcharge depth shall be added to the DFE design
depth and the resultant hydrostatic pressures applied to, and
uniformly distributed across, the vertical projected area of the
building or structure that is perpendicular to the flow. Surfaces
parallel to the flow or surfaces wetted by the tail water shall be
subject to the hydrostatic pressures for depths to the DFE only.
5.4.4 Wave Loads. Wave loads shall be determined by one of the
following three methods: (I) by using the analytical procedures
outlined in this section, (2) by more advanced numerical modeling
procedures, or (3) by laboratory test procedures (physical
modeling).
Wave loads are those loads that result from water waves uroua- 1 1
gating over the water surface and striking a building or other
structure. Design and construction of buildings and other structures
subject to wave loads shall account for the following loads:
waves breaking on any portion of the building or structure; uplift
forces caused by shoaling waves beneath a building or structure,
or portion thereof; wave runup striking any portion of the
building or structure; wave-induced drag and inertia forces; and
wave-induced scour at the base of a building or structure, or its
foundation. Wave loads shall be included for both V-Zones and
A-Zones. In V-Zones, waves are 3 ft (0.91 m) high, or higher; in
coastal floodplains landward of the V-Zone, waves are less than
3 ft high (0.91 m).
Nonbreaking and broken wave loads shall be calculated using
the procedures described in Sections 5.4.2 and 5.4.3 that show
how to calculate hydrostatic and hydrodynamic loads.
Breaking wave loads shall be calculated using the procedures
described in Sections 5.4.4.1 through 5.4.4.4. Breaking wave
heights used in the procedures described in Sections 5.4.4.1
through 5.4.4.4 shall be calculated for V-Zones and Coastal AZones
using Eqs. 5-2 and 5-3.
where
HI, = breaking wave height in ft (m)
d, = local still water depth in ft (m)
The local still water depth shall be calculated using Eq. 5-3,
unless more advanced procedures or laboratory tests permitted by
this section are used.
where
BFE = BFE in ft (m)
G = ground elevation in ft (m)
5.4.4.1 Breaking Wave Loads on Vertical Pilings and
Columns. The net force resulting from a breaking wave acting
on a rigid vertical pile or column shall be assumed to act at the
still water elevation and shall be calculated by the following:
where
FD = net wave force, in lb (kN)
y,, = unit weight of water, in lb per cubic ft (kN/m3), = 62.4 pcf
(9.80 kN/m3) for fresh water and 64.0 pcf (10.05 Wm3)
for salt water
CD = coefficient of drag for breaking waves, = 1.75 for round
piles or columns, and = 2.25 for square piles or columns
D = pile or column diameter, in ft (m) for circular sections, or
for a square pile or column, 1.4 times the width of the pile
or column in ft (m)
HI, = breaking wave height, in ft (m)
5.4.4.2 Breaking Wave Loads on Vertical Walls. Maximum
pressures and net forces resulting from a normally incident breaking
wave (depth-limited in size, with HI, = 0.78d,) acting on a
rigid vertical wall shall be calculated by the following:
and
where
Pmax =maximum combined dynamic (C[,y,,d,) and static
(1.2y,,d,) wave pressures, also referred to as shockpressures
in lb/ft2 (kN/m2)
Ft = net breaking wave force per unit length of structure, also
referred to as shock, impulse, or wave impact force in
lb/ft (kN/m), acting near the still water elevation
CI, = dynamic pressure coefficient (1.6 < CI, < 3.5) (see
Table 5-1)
y,, = unit weight of water, in lb per cubic ft (kN/m3), = 62.4 pcf
(9.80 k ~ / mf~or )fr esh water and 64.0 pcf (10.05 Wm 3 )
for salt water
d, = still water depth in ft (m) at base of building or other
structure where the wave breaks
This procedure assumes the vertical wall causes a reflected or
standing wave against the waterward side of the wall with the
crest of the wave at a height of 1.2d, above the still water level.
Thus, the dynamic static and total pressure distributions against
the wall are as shown in Fig. 5-1.
This procedure also assumes the space behind the vertical wall
is dry, with no fluid balancing the static component of the wave
force on the outside of the wall. If free water exists behind the
wall, a portion of the hydrostatic component of the wave pressure
and force disappears (see Fig. 5-2) and the net force shall be
computed by Eq. 5-7 (the maximum combined wave pressure is
still computed with Eq. 5-5).
where
Ft = net breaking wave force per unit length of structure, also
referred to as shock, impulse, or wave impact force in lb/ft
(kN/m), acting near the still water elevation
CI, = dynamic pressure coefficient (1.6 < C1, < 3.5) (see
Table 5-1)
y,, = unit weight of water, in lb per cubic ft (kN/m3), = 62.4 pcf
(9.80 kN/m3) for fresh water and 64.0 pcf (10.05 kN/m3)
for salt water
ASCE 7-05
d, = still water depth in ft (m) at base of building or other struc- Ft = net breaking wave force (normally incident waves) acting
ture where the wave breaks on a vertical surface in lblft (kN1m)
5.4.4.3 Breaking Wave Loads on Nonvertical Walls. Breaking
wave forces given by Eqs. 5-6 and 5-7 shall be modified in
instances where the walls or surfaces upon which the breaking
waves act are nonvertical. The horizontal component of breaking
wave force shall be given by
FIX, = Ft sin2 a (5-8)
where
FIX, = horizontal component of breaking wave force in lblft
(kNlm)
a = horizontal angle between the direction of wave approach and
the vertical surface
5.4.5 Impact Loads. Impact loads are those that result from
debris, ice, and any object transported by floodwaters striking
against buildings and structures, or parts thereof. Impact loads
shall be determined using a rational approach as concentrated
loads acting horizontally at the most critical location at or below
the DFE.
Ft = net breaking wave force acting on a vertical surface in
lblft (kN1m) 5.5 CONSENSUS STANDARDS AND OTHER
a = vertical angle between nonvertical surface and the hori- REFERENCED DOCUMENTS
-
zontal This section lists the consensus standards and other documents
which are adopted by reference within this chapter:
5.4.4.4 Breaking Wave Loads from Obliquely Incident Waves.
Breaking wave forces given by Eqs. 5-6 and 5-7 shall be modified ASCEISEI
in instances where waves are obliquely incident. Breaking wave American Society of Civil Engineers
forces from non-normally incident waves shall be given by Structural Engineering Institute
1801 Alexander Bell Drive
F,,, = Ft sin2 a (5-9) Reston, VA 20191-4400
where ASCEISEI 24
F,,, = horizontal component of obliquely incident breaking wave Section 5.3.3
force in lblft (Wm) Flood Resistant Design and Construction, 1998
TABLE 5-1 VALUE OF DYNAMIC PRESSURE COEFFICIENT, Cp
Building Category
111 3.2
IV 3.5
Minimum Design Loads for Buildings and Other Structures
Vertical Wall
Crest of reflected wave
Dynamic pressure
1.2 d, I Crest of incident wave
0.55 d,
---------
Stillwater level
ds pressure
Ground elevation
FIGURE 5-1 NORMALLY INCIDENT BREAKING WAVE PRESSURES AGAINST A VERTICAL WALL (space behind vertical
wall is dry)
ASCE 7-05
Vertical Wall
Crest of reflected wave
Dynamic pressure
Crest of incident wave
Stillwater level
Net hydrostatic pressure
Ground elevation
FIGURE 5-2 NORMALLY INCIDENT BREAKING WAVE PRESSURES AGAINST A VERTICAL WALL (still water
level equal on both sides of wall)
Minimum Design Loads for Buildings and Other Structures
FLOOD LOADS
5.1 GENERAL
The provisions of this section apply to buildings and other structures
located in areas prone to flooding as defined on a flood
hazard map.
5.2 DEFINITIONS
The following definitions apply to the provisions of this chapter:
APPROVED: Acceptable to the authority having jurisdiction.
BASE FLOOD: The flood having a 1 percent chance of being
equaled or exceeded in any given year.
BASE FLOOD ELEVATION (BFE): The elevation of flooding,
including wave height, having a 1 percent chance of being
equaled or exceeded in any given year.
BREAKAWAY WALL: Any type of wall subject to flooding
that is not required to provide structural support to a building or
other structure, and that is designed and constructed such that,
under base flood or lesser flood conditions, it will collapse in
such a way that: (I) it allows the free passage of floodwaters,
and (2) it does not damage the structure or supporting foundation
system.
COASTAL A-ZONE: An area within a special flood hazard
area, landward of a V-Zone or landward of an open coast without
mapped V-Zones. To be classified as a Coastal A-Zone, the principal
source of flooding must be astronomical tides, storm surges,
seiches, or tsunamis, not riverine flooding, and the potential for
breaking wave heights greater than or equal to 1.5 ft (0.46 m)
must exist during the base flood.
COASTAL HIGH HAZARD AREA (V-ZONE): An area
within a Special Flood Hazard Area, extending from offshore
to the inland limit of a primary frontal dune along an open
coast, and any other area that is subject to high-velocity wave
action from storms or seismic sources. This area is designated
on Flood Insurance Rate Maps (FIRMS) as V, VE, VO, or
Vl-30.
DESIGN FLOOD: The greater of the following two flood
events: (I) the Base Flood, affecting those areas identified as
Special Flood Hazard Areas on the community's FIRM; or
(2) the flood corresponding to the area designated as a Flood
Hazard Area on a community's Flood Hazard Map or otherwise
legally designated.
DESIGN FLOOD ELEVATION (DFE): The elevation of the
design flood, including wave height, relative to the datum specified
on a community's flood hazard map.
FLOOD HAZARD AREA: The area subject to flooding during
the design flood.
FLOOD HAZARD MAP: The map delineating Flood Hazard
Areas adopted by the authority having jurisdiction.
FLOOD INSURANCE RATE MAP (FIRM): An official
map of a community on which the Federal Insurance and
Mitigation Administration has delineated both special flood hazard
areas and the risk premium zones applicable to the community.
SPECIAL FLOOD HAZARD AREA (AREA OF SPECIAL
FLOOD HAZARD): The land in the floodplain subject to
a 1 percent or greater chance of flooding in any given year. These
areas are delineated on a community's FIRM as A-Zones (A, AE,
Al-30, A99, AR, AO, or AH) or V-Zones (V, VE, VO, or Vl-30).
5.3 DESIGN REQUIREMENTS
5.3.1 Design Loads. Structural systems of buildings or other
structures shall be designed, constructed, connected, and anchored
to resist flotation, collapse, and permanent lateral displacement
due to action of flood loads associated with the design flood
(see Section 5.3.3) and other loads in accordance with the load
combinations of Chapter 2.
5.3.2 Erosion and Scour. The effects of erosion and scour shall
be included in the calculation of loads on buildings and other
structures in flood hazard areas.
5.3.3 Loads on Breakaway Walls. Walls and partitions required
by ASCEISEI 24, to break away, including their connections to
the structure, shall be designed for the largest of the following
loads acting perpendicular to the plane of the wall:
I. The wind load specified in Chapter 6.
2. The earthquake load specified in Chapter 9.
3. 10 psf (0.48 k~/m').
The loading at which breakaway walls are intended to collapse
shall not exceed 20 psf (0.96 kN/m2) unless the design meets the
following conditions:
I. Breakaway wall collapse is designed to result from a flood
load less than that which occurs during the base flood.
2. The supporting foundation and the elevated portion of the
building shall be designed against collapse, permanent lateral
displacement, and other structural damage due to the
effects of flood loads in combination with other loads as
specified in Chapter 2.
5.4 LOADS DURING FLOODING
5.4.1 Load Basis. In flood hazard areas, the structural design
shall be based on the design flood.
5.4.2 Hydrostatic Loads. Hydrostatic loads caused by a depth
of water to the level of the DFE shall be applied over all surfaces
involved, both above and below ground level, except that for surfaces
exposed to free water, the design depth shall be increased
by 1 ft (0.30 m).
Reduced uplift and lateral loads on surfaces of enclosed spaces
below the DFE shall apply only if provision is made for entry and
exit of floodwater.
Minimum Design Loads for Buildings and Other Structures
5.4.3 Hydrodynamic Loads. Dynamic effects of moving water
shall be determined by a detailed analysis utilizing basic concepts
of fluid mechanics.
EXCEPTION: Where water velocities do not exceed 10 ft/s (3.05 mls),
dynamic effects of moving water shall be permitted to be converted into
equivalent hydrostatic loads by increasing the DFE for design purposes
by an equivalent surcharge depth, dh, on the headwater side and above the
ground level only, equal to
where
V = average velocity of water in ft/s (mls)
g = acceleration due to gravity, 32.2 ft/s (9.81 m/s2)
a = coefficient of drag or shape factor (not less than 1.25)
The equivalent surcharge depth shall be added to the DFE design
depth and the resultant hydrostatic pressures applied to, and
uniformly distributed across, the vertical projected area of the
building or structure that is perpendicular to the flow. Surfaces
parallel to the flow or surfaces wetted by the tail water shall be
subject to the hydrostatic pressures for depths to the DFE only.
5.4.4 Wave Loads. Wave loads shall be determined by one of the
following three methods: (I) by using the analytical procedures
outlined in this section, (2) by more advanced numerical modeling
procedures, or (3) by laboratory test procedures (physical
modeling).
Wave loads are those loads that result from water waves uroua- 1 1
gating over the water surface and striking a building or other
structure. Design and construction of buildings and other structures
subject to wave loads shall account for the following loads:
waves breaking on any portion of the building or structure; uplift
forces caused by shoaling waves beneath a building or structure,
or portion thereof; wave runup striking any portion of the
building or structure; wave-induced drag and inertia forces; and
wave-induced scour at the base of a building or structure, or its
foundation. Wave loads shall be included for both V-Zones and
A-Zones. In V-Zones, waves are 3 ft (0.91 m) high, or higher; in
coastal floodplains landward of the V-Zone, waves are less than
3 ft high (0.91 m).
Nonbreaking and broken wave loads shall be calculated using
the procedures described in Sections 5.4.2 and 5.4.3 that show
how to calculate hydrostatic and hydrodynamic loads.
Breaking wave loads shall be calculated using the procedures
described in Sections 5.4.4.1 through 5.4.4.4. Breaking wave
heights used in the procedures described in Sections 5.4.4.1
through 5.4.4.4 shall be calculated for V-Zones and Coastal AZones
using Eqs. 5-2 and 5-3.
where
HI, = breaking wave height in ft (m)
d, = local still water depth in ft (m)
The local still water depth shall be calculated using Eq. 5-3,
unless more advanced procedures or laboratory tests permitted by
this section are used.
where
BFE = BFE in ft (m)
G = ground elevation in ft (m)
5.4.4.1 Breaking Wave Loads on Vertical Pilings and
Columns. The net force resulting from a breaking wave acting
on a rigid vertical pile or column shall be assumed to act at the
still water elevation and shall be calculated by the following:
where
FD = net wave force, in lb (kN)
y,, = unit weight of water, in lb per cubic ft (kN/m3), = 62.4 pcf
(9.80 kN/m3) for fresh water and 64.0 pcf (10.05 Wm3)
for salt water
CD = coefficient of drag for breaking waves, = 1.75 for round
piles or columns, and = 2.25 for square piles or columns
D = pile or column diameter, in ft (m) for circular sections, or
for a square pile or column, 1.4 times the width of the pile
or column in ft (m)
HI, = breaking wave height, in ft (m)
5.4.4.2 Breaking Wave Loads on Vertical Walls. Maximum
pressures and net forces resulting from a normally incident breaking
wave (depth-limited in size, with HI, = 0.78d,) acting on a
rigid vertical wall shall be calculated by the following:
and
where
Pmax =maximum combined dynamic (C[,y,,d,) and static
(1.2y,,d,) wave pressures, also referred to as shockpressures
in lb/ft2 (kN/m2)
Ft = net breaking wave force per unit length of structure, also
referred to as shock, impulse, or wave impact force in
lb/ft (kN/m), acting near the still water elevation
CI, = dynamic pressure coefficient (1.6 < CI, < 3.5) (see
Table 5-1)
y,, = unit weight of water, in lb per cubic ft (kN/m3), = 62.4 pcf
(9.80 k ~ / mf~or )fr esh water and 64.0 pcf (10.05 Wm 3 )
for salt water
d, = still water depth in ft (m) at base of building or other
structure where the wave breaks
This procedure assumes the vertical wall causes a reflected or
standing wave against the waterward side of the wall with the
crest of the wave at a height of 1.2d, above the still water level.
Thus, the dynamic static and total pressure distributions against
the wall are as shown in Fig. 5-1.
This procedure also assumes the space behind the vertical wall
is dry, with no fluid balancing the static component of the wave
force on the outside of the wall. If free water exists behind the
wall, a portion of the hydrostatic component of the wave pressure
and force disappears (see Fig. 5-2) and the net force shall be
computed by Eq. 5-7 (the maximum combined wave pressure is
still computed with Eq. 5-5).
where
Ft = net breaking wave force per unit length of structure, also
referred to as shock, impulse, or wave impact force in lb/ft
(kN/m), acting near the still water elevation
CI, = dynamic pressure coefficient (1.6 < C1, < 3.5) (see
Table 5-1)
y,, = unit weight of water, in lb per cubic ft (kN/m3), = 62.4 pcf
(9.80 kN/m3) for fresh water and 64.0 pcf (10.05 kN/m3)
for salt water
ASCE 7-05
d, = still water depth in ft (m) at base of building or other struc- Ft = net breaking wave force (normally incident waves) acting
ture where the wave breaks on a vertical surface in lblft (kN1m)
5.4.4.3 Breaking Wave Loads on Nonvertical Walls. Breaking
wave forces given by Eqs. 5-6 and 5-7 shall be modified in
instances where the walls or surfaces upon which the breaking
waves act are nonvertical. The horizontal component of breaking
wave force shall be given by
FIX, = Ft sin2 a (5-8)
where
FIX, = horizontal component of breaking wave force in lblft
(kNlm)
a = horizontal angle between the direction of wave approach and
the vertical surface
5.4.5 Impact Loads. Impact loads are those that result from
debris, ice, and any object transported by floodwaters striking
against buildings and structures, or parts thereof. Impact loads
shall be determined using a rational approach as concentrated
loads acting horizontally at the most critical location at or below
the DFE.
Ft = net breaking wave force acting on a vertical surface in
lblft (kN1m) 5.5 CONSENSUS STANDARDS AND OTHER
a = vertical angle between nonvertical surface and the hori- REFERENCED DOCUMENTS
-
zontal This section lists the consensus standards and other documents
which are adopted by reference within this chapter:
5.4.4.4 Breaking Wave Loads from Obliquely Incident Waves.
Breaking wave forces given by Eqs. 5-6 and 5-7 shall be modified ASCEISEI
in instances where waves are obliquely incident. Breaking wave American Society of Civil Engineers
forces from non-normally incident waves shall be given by Structural Engineering Institute
1801 Alexander Bell Drive
F,,, = Ft sin2 a (5-9) Reston, VA 20191-4400
where ASCEISEI 24
F,,, = horizontal component of obliquely incident breaking wave Section 5.3.3
force in lblft (Wm) Flood Resistant Design and Construction, 1998
TABLE 5-1 VALUE OF DYNAMIC PRESSURE COEFFICIENT, Cp
Building Category
111 3.2
IV 3.5
Minimum Design Loads for Buildings and Other Structures
Vertical Wall
Crest of reflected wave
Dynamic pressure
1.2 d, I Crest of incident wave
0.55 d,
---------
Stillwater level
ds pressure
Ground elevation
FIGURE 5-1 NORMALLY INCIDENT BREAKING WAVE PRESSURES AGAINST A VERTICAL WALL (space behind vertical
wall is dry)
ASCE 7-05
Vertical Wall
Crest of reflected wave
Dynamic pressure
Crest of incident wave
Stillwater level
Net hydrostatic pressure
Ground elevation
FIGURE 5-2 NORMALLY INCIDENT BREAKING WAVE PRESSURES AGAINST A VERTICAL WALL (still water
level equal on both sides of wall)
Minimum Design Loads for Buildings and Other Structures
Jumat, 29 Januari 2010
Mengenai Jembatan
JEMBATAN CABLE STAYED BENTANG PANJANG
Long Span Cable - stayed bridging
Lanneke Tristanto
Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan Dan Jembatan
Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pekerjaan Umum
ABSTRAK
Jembatan tipe cable stayed mencakup aspek perencanaan dan pelaksanaan dalam satu
kesatuan struktur. Berbagai peranti lunak membantu perencanaan jembatan cable stay,
tetapi tidak semua memperhitungkan pengaruh tahapan pelaksanaan dengan
ketergantungan waktu dalam pembangunan jembatan. Ciri khas jembatan cable stayed
adalah urutan dan besaran awal dalam penarikan cable stay, yang memungkinkan
pemasangan jembatan secara bertahap tanpa bantuan perancah. Makalah ini membahas
perencanaan dan pelaksanaan jembatan cable stayed secara ketergantungan waktu (time
dependent) .
Bentang dan lebar jembatan telah berkembang melewati batas bentang 200m dari peraturan
perencanaan yang lajim berlaku. Selama ini perencanaan bentang panjang diatas 200m
mengacu pada peraturan yang berlaku dengan mengadakan pertimbangan teknis bila perlu.
Pokok perencanaan yang kurang mendetail dalam peraturan adalah bagaimana stabilitas
statika dan dinamika struktur bentang panjang dapat dipertahankan dari pelaksanaan sampai
masa pelayanan struktur.
Studi kasus dalam makalah ini adalah perencanaan jembatan cable-stayed Galanggang yang
melintasi danau Saguling di kabupaten Batujajar dengan bentang jembatan total 300m dan
lebar 6,5m. Jembatan ini direncanakan dalam rangka menghubungkan dan mengembangkan
desa-desa yang terisolir, yang selama ini menggunakan transportasi dengan perahu.
ABSTRACT
Cable stayed bridge types cover design and construction aspects in one integrated structure.
Several software systems support the design of cable stayed bridges, but not every system
considers the stage construction calculations due to time dependency during building of the
bridge. The typical feature of cable stayed bridging is the construction sequence and required
initial cable tensioning, that enables the stage construction method without the support of
scaffolding. This paper describes the design and construction of cable stayed bridging
dependent on construction methods and time.
Bridge span and width have developed above the limit span of 200m in general design
regulations. The design of long span bridging is mostly referred to current manuals and codes
by implementing technical considerations when necessarily. The design objectives that are
not fully covered in the current regulations are the static and dynamic stability of long span
bridges, which have to be maintained from construction to service conditions.
Kolokium Puslitbang Jalan dan Jembatan TA. 2008
The case study example in this report is the design of Galanggang cable stayed bridge,
crossing the Saguling lake in Batujajar with a 300m total span and 6,5m width. This bridge is
planned to connect and develop the isolated villages, that are facilitated by small boat
transportation so far.
1. PENDAHULUAN
Perencanaan jembatan bentang panjang dengan memanfaatkan struktur kabel adalah suatu
topik desain yang belakangan ini mendominasi rencana pembangunan jembatan baru.
Jembatan cable stayed Galanggang direncanakan dengan gelagar boks baja yang dipikul
oleh dua menara secara simetris, yaitu bentang tengah 150m, dan bentang pinggir masingmasing
75m. Mengingat bentang tengah cukup panjang maka pada bentang pinggir
diperlukan pilar antara sehingga bentang tengah terjangkar pada pilar antara dan bukan di
kepala jembatan. Pada pilar tersebut terjadi reaksi negative kearah keatas atau daya angkat
sedangkan di kepala jembatan terjadi reaksi positif kearah bawah. Penempatan pilar antara
yang merupakan perletakan tetap adalah salah satu cara untuk membuat jembatan cable
stay bentang panjang menjadi stabil dan seimbang (lihat Gambar – Lampiran).
Cable stay merupakan pilar-pilar antara berupa pegas, yang memungkinkan reduksi tinggi
gelagar sampai menjadi 1/100 L (dimana L=bentang utama). Tanpa cable stay diperlukan
tinggi gelagar 1/20 L untuk sistem gelagar sederhana yang terletak pada dua tumpuan.
Konfigurasi cable stay dibuat sedemikan rupa sehingga terjadi keseimbangan gaya sebelah
kiri dan kanan pada menara, agar menara relatif berdiri tegak dengan simpangan maksimum
yang berada dalam batas lenturan 1/100 H dimana H adalah tinggi menara.
Perencanaan jembatan cable stayed dapat di pra desain dengan cara tangan tetapi analisis
lengkap hanya dapat dicapai dengan bantuan perangkat lunak , mengingat keadaan struktur
adalah statis tak tentu yang rumit/kompleks diatas beberapa perletakan tetap dan banyak
perletakan pegas.
2. METODOLOGI
2.1 Umum
Perencanaan jembatan Galanggang meliputi detail jembatan untuk lalu lintas jalan raya
dengan lebar bersih 5,5m dan kerb 2 @ 0,5m. Jembatan tipe struktur kabel simetris
mempunyai bentang total 300m yang meliputi bentang utama 150m dan bentang tepi 75m
yaitu 30 dan 45m sebelah kiri dan kanan dari bentang utama. Gelagar dipikul oleh dua bidang
kabel pada menara ganda dengan tinggi 33m. Jembatan untuk lalu lintas jalan raya
dirancang dengan gelagar boks tipe cable stayed dimana setiap komponen memiliki
dwifungsi estetik dan struktural.
2.2 Bahan jembatan
Baja untuk gelagar dan menara adalah profil dan pelat dengan tegangan leleh 400 MPa dan
baut mutu tinggi sesuai A325 ASTM. Baut jangkar dan penahan dibuat dari baja BJ400 juga.
Mutu dan cara pengelasan mengikuti peraturan dari American Welding Society.
Beton bertulang untuk bangunan bawah dan pondasi adalah mutu fc’ 30 MPa dengan
tulangan deform dengan mutu BJ400.
Kolokium Puslitbang Jalan dan Jembatan TA. 2008
Strand untuk cable stay adalah tipe lilitan tujuh kawat dengan tegangan putus 1860 MPa
dengan diameter nominal strand 12,7mm dan berselubung polietilena. Angkur hidup dan mati
untuk kabel adalah untuk tipe 5 sampai 12 strand, yang menggunakan angkur prategang
biasa, mengingat angkur kabel stay yang paten adalah untuk 12 strand dan lebih, sehingga
penggunaan angkur paten untuk jumlah strand dibawah 12 buah menjadi tidak ekonomis
dan mempersulit pendetailan karena memerlukan tempat penjangkaran 50x50 cm,
sedangkan gelagar jembatan mempunyai lebar relatif kecil. Dalam hal demikian biasanya
digunakan angkur prategang biasa yang diberi peredam elastomerik di ujung masing-masing
cable stay. Peredam diperlukan untuk mencegah fatik dini dari angkur prategang yang
difungsikan menjadi angkur cable stay yang menahan gaya-gaya dinamis.
2.3 Bentuk dan dimensi
2.3.1 Gelagar
Gelagar berbentuk boks dari pelat baja yang diperkaku pada arah memanjang dan melintang
dengan diafragma dan rib. Tinggi gelagar adalah 3m (dengan rasio 1/50 L), tebal pelat yang
membentuk gelagar adalah 40mm, lebar total boks adalah 7,5m dan lebar bersih 5,5m.
Kelandaian memanjang jembatan untuk lawan lendutan dibuat 1,8% atau dengan radius
4000m dan kemiringan melintang 2% untuk pengaliran air hujan.
2.3.2 Menara dan kabel
Menara berbentuk portal A dengan dua kolom pipa persegi baja dengan sisi 1100mm dan
tebal pelat 40mm. Menara dengan tinggi 33m (dengan rasio 0,22 L) berada pada perletakan
jepit di pilar. Kabel di-angkur dengan angkur mati dalam puncak menara dengan menumpu
pada dudukan baja dalam puncak menara. Lubang masuk kabel
ditutup dengan bahan kedap air untuk mencegah penetrasi kelembaban dan air hujan.
2.4 Cara pengerjaan
Cara pelaksanaan dengan kantilever seimbang merupakan ciri khas dari pembuatan
jembatan cable stayed. Urutan penarikan kabel dan besar gaya tarik awal kabel menjadi
dasar dalam analisis yang dilakukan dengan bantuan perangkat lunak. Dalam analisis yang
tergantung waktu diadakan pengecekan agar semua kabel aktif dalam keadaan tegang
tertarik dalam semua kondisi pembebanan yang mungkin terjadi selama pelaksanaan dan
setelah jembatan selesai dan berfungsi. Kabel yang ke tengah bentang utama (kabel no 5, X
kanan) umumnya peka menjadi non aktif dan hasil analisis dapat menunjukkan gaya negatif
(tekan) sehingga penyetelan gaya tarik awal kabel harus disesuaikan kembali agar kabel ke
tengah bentang utama tetap tegang dan dengan demikian dijaga agar angkur tidak melepas.
Contoh numerik untuk penarikan kabel yang telah disesuaikan terdapat dalam Tabel 1.
Kolokium Puslitbang Jalan dan Jembatan TA. 2008
Tabel 1. Lendutan teoritis akibat berat sendiri dan penarikan awal kabel
Tahap Lendutan y bentang
utama L di lokasi x
terhadap menara
Simpangan
menara z
neg= kiri
Gaya tarik awal kabel
kN,bentang pemberat=
ki, bentang utama =ka
Susunan
kabel
y (mm) x (mm) Z (mm) X kiri X kanan
1 3,8 15 -48 260 200 1
2 -20 27,5 -60 320 250 2
3 -47 40 -72 500 280 3
4 -98 52,5 -66 560 440 4
5 -184 65 -74 770 325 5
6= pasang
segmen
akhir
-256 75 tengah
bentang
utama L
-56
2.5 Beban rencana
Beban diperhitungkan dalam daya layan SLS karena merupakan struktur prategang, dan
dicek pada tingkat ultimit ULS. Yang diperhitungkan adalah beban mati struktur, beban
tambahan untuk pelat pengaku, diafragma, sandaran, lapis perkerasan, baut dan pelat
penyambung dan pipa utilitas. Beban hidup diperhitungkan 100 % beban jembatan jalan raya.
Gempa dihitung secara statis ekuivalen dengan koefisien gempa horisontal 0.15 terhadap
berat sendiri struktur dan gaya kabel pada menara. Perbedaan penurunan pondasi
diperhitungkan 25 mm.
2.6 Hasil analisis arah memanjang dan melintang jembatan
Hasil analisis memanjang menunjukkan tegangan dalam gelagar boks baja sebesar 141 MPa
tarik dan -212 MPa tekan dengan lendutan 718 mm total, yang berada dalam batas ijin 230
MPa, dengan lendutan ijin 750 mm dimana lendutan beban hidup 1/400 L = 375mm.
Dalam menara terjadi tegangan -90 MPa tekan dengan simpangan 72 mm di puncak menara
dalam arah memanjang jembatan. Dalam arah melintang menara menahan gaya inersia
gempa dengan tegangan -155 MPa tekan dan lendutan 100mm.
Gaya kabel diperhitungkan dalam keadaan SLS dan ULS dengan tegangan ijin 45%
tegangan putus strand kabel dan keadaan ultimit dengan batasan 70% tegangan putus
strand kabel – Tabel 2. Akibat penurunan pondasi 25mm terjadi 25% peningkatan gaya kabel
dalam jeadaan SLS yang masih memenuhi persyaratan tegangan ijin.
Center
line
Xki Xka
Kabel no 5 Kabel no 5
1 1
neg z pos
x
y
Kolokium Puslitbang Jalan dan Jembatan TA. 2008
Tabel 2. Gaya kabel awal, SLS dan ULS
No kabel Gaya tarik awal
kN
Jumlah strand
per kabel
Gaya kabel
SLS kN
Gaya kabel
ULS kN
5 ki
4 ki
3 ki
2 ki
1 ki
770
560
500
320
260
15 diam ½ ”
12 diam ½”
13 diam ½”
8 diam ½ ”
5 diam ½ ”
1186
942
1014
607
332
1414
1155
1271
757
394
1 ka
2 ka
3 ka
4 ka
5 ka
200
250
280
440
325
7 diam ½ ”
15 diam ½ ”
14 diam ½”
15 diam ½ ”
6 diam ½”
548
1192
1105
1215
488
639
1483
1393
1497
572
3. HASIL PENELITIAN DAN PENGKAJIAN
Dalam perencanaan jembatan Gelanggang telah diadakan studi banding dengan jembatan
beton prategang dan jembatan terapung dengan komponen Bailey panel. Jembatan terapung
dalam hal ini tidak layak karena terdapat fluktuasi muka air yang cukup besar sehingga
akibatnya pilar jembatan terapung harus bertingkat dalam panel Bailey yang menjadi tidak
stabil lagi. Akhir dari perhitungan teoritis adalah perkiraan volume dan biaya yang dirangkum
sebagai berikut untuk bagian bangunan atas jembatan.
Volume jembatan boks baja dengan struktur cable stay adalah 3050 ton baja struktural @ 15
juta rp, strand 22720 m @ ½ juta dengan perkiraan biaya langsung 57 M.
Volume jembatan boks beton prategang dengan cara pemasangan secara kantilever
seimbang adalah 2268 kubik beton @ 2 juta, Strand 156600m @ ½ juta dengan perkiraan
biaya langsung 83 M.
Perkiraan biaya jembatan terapung tipe Bailey adalah 38 M. Jembatan terapung tidak
menggunakan pondasi, melainkan berada diatas kotak ponton.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
1.1 Kesimpulan
1. Jembatan struktur kabel mendukung pembangunan jembatan bentang panjang dan dapat
mencapai bentang 1000m
2. Bangunan bawah jembatan cable stayed dapat dihemat mengingat sebagian reaksi
perletakan adalah terangkat.
3. Tampak jembatan lebih ramping dan estetis
4.2 Saran
1. Segi aerodinamik perlu dikaji lebih mendalam terutama untuk jembatan yang sempit dan
panjang seperti jembatan lalu lintas ringan dengan lebar 2,5 m dan panjang bentang
200m
2. Penggunaan damper untuk stabilitas terhadap angin perlu pengkajian lebih mendalam
juga
Kolokium Puslitbang Jalan dan Jembatan TA. 2008
5. DAFTAR PUSTAKA
1. Cable Stayed Bridges, Rene Walther, Bernard Houriet, Walmar Isler, Pierre Moia
2. Bridge Welding Code, American Welding Society
3. Peraturan Beban Jembatan (SNI)
4. Perencanaan Baja Struktural (SNI)
5. Perencanaan Beton Struktural (SNI)
LAMPIRAN GAMBAR JEMBATAN GALANGGANG TIPE CABLE STAYED
Gambar 1. Lokasi jembatan Galanggang yang melintasi danau Saguling
Sumber(www.caripdf.com)
Long Span Cable - stayed bridging
Lanneke Tristanto
Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan Dan Jembatan
Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pekerjaan Umum
ABSTRAK
Jembatan tipe cable stayed mencakup aspek perencanaan dan pelaksanaan dalam satu
kesatuan struktur. Berbagai peranti lunak membantu perencanaan jembatan cable stay,
tetapi tidak semua memperhitungkan pengaruh tahapan pelaksanaan dengan
ketergantungan waktu dalam pembangunan jembatan. Ciri khas jembatan cable stayed
adalah urutan dan besaran awal dalam penarikan cable stay, yang memungkinkan
pemasangan jembatan secara bertahap tanpa bantuan perancah. Makalah ini membahas
perencanaan dan pelaksanaan jembatan cable stayed secara ketergantungan waktu (time
dependent) .
Bentang dan lebar jembatan telah berkembang melewati batas bentang 200m dari peraturan
perencanaan yang lajim berlaku. Selama ini perencanaan bentang panjang diatas 200m
mengacu pada peraturan yang berlaku dengan mengadakan pertimbangan teknis bila perlu.
Pokok perencanaan yang kurang mendetail dalam peraturan adalah bagaimana stabilitas
statika dan dinamika struktur bentang panjang dapat dipertahankan dari pelaksanaan sampai
masa pelayanan struktur.
Studi kasus dalam makalah ini adalah perencanaan jembatan cable-stayed Galanggang yang
melintasi danau Saguling di kabupaten Batujajar dengan bentang jembatan total 300m dan
lebar 6,5m. Jembatan ini direncanakan dalam rangka menghubungkan dan mengembangkan
desa-desa yang terisolir, yang selama ini menggunakan transportasi dengan perahu.
ABSTRACT
Cable stayed bridge types cover design and construction aspects in one integrated structure.
Several software systems support the design of cable stayed bridges, but not every system
considers the stage construction calculations due to time dependency during building of the
bridge. The typical feature of cable stayed bridging is the construction sequence and required
initial cable tensioning, that enables the stage construction method without the support of
scaffolding. This paper describes the design and construction of cable stayed bridging
dependent on construction methods and time.
Bridge span and width have developed above the limit span of 200m in general design
regulations. The design of long span bridging is mostly referred to current manuals and codes
by implementing technical considerations when necessarily. The design objectives that are
not fully covered in the current regulations are the static and dynamic stability of long span
bridges, which have to be maintained from construction to service conditions.
Kolokium Puslitbang Jalan dan Jembatan TA. 2008
The case study example in this report is the design of Galanggang cable stayed bridge,
crossing the Saguling lake in Batujajar with a 300m total span and 6,5m width. This bridge is
planned to connect and develop the isolated villages, that are facilitated by small boat
transportation so far.
1. PENDAHULUAN
Perencanaan jembatan bentang panjang dengan memanfaatkan struktur kabel adalah suatu
topik desain yang belakangan ini mendominasi rencana pembangunan jembatan baru.
Jembatan cable stayed Galanggang direncanakan dengan gelagar boks baja yang dipikul
oleh dua menara secara simetris, yaitu bentang tengah 150m, dan bentang pinggir masingmasing
75m. Mengingat bentang tengah cukup panjang maka pada bentang pinggir
diperlukan pilar antara sehingga bentang tengah terjangkar pada pilar antara dan bukan di
kepala jembatan. Pada pilar tersebut terjadi reaksi negative kearah keatas atau daya angkat
sedangkan di kepala jembatan terjadi reaksi positif kearah bawah. Penempatan pilar antara
yang merupakan perletakan tetap adalah salah satu cara untuk membuat jembatan cable
stay bentang panjang menjadi stabil dan seimbang (lihat Gambar – Lampiran).
Cable stay merupakan pilar-pilar antara berupa pegas, yang memungkinkan reduksi tinggi
gelagar sampai menjadi 1/100 L (dimana L=bentang utama). Tanpa cable stay diperlukan
tinggi gelagar 1/20 L untuk sistem gelagar sederhana yang terletak pada dua tumpuan.
Konfigurasi cable stay dibuat sedemikan rupa sehingga terjadi keseimbangan gaya sebelah
kiri dan kanan pada menara, agar menara relatif berdiri tegak dengan simpangan maksimum
yang berada dalam batas lenturan 1/100 H dimana H adalah tinggi menara.
Perencanaan jembatan cable stayed dapat di pra desain dengan cara tangan tetapi analisis
lengkap hanya dapat dicapai dengan bantuan perangkat lunak , mengingat keadaan struktur
adalah statis tak tentu yang rumit/kompleks diatas beberapa perletakan tetap dan banyak
perletakan pegas.
2. METODOLOGI
2.1 Umum
Perencanaan jembatan Galanggang meliputi detail jembatan untuk lalu lintas jalan raya
dengan lebar bersih 5,5m dan kerb 2 @ 0,5m. Jembatan tipe struktur kabel simetris
mempunyai bentang total 300m yang meliputi bentang utama 150m dan bentang tepi 75m
yaitu 30 dan 45m sebelah kiri dan kanan dari bentang utama. Gelagar dipikul oleh dua bidang
kabel pada menara ganda dengan tinggi 33m. Jembatan untuk lalu lintas jalan raya
dirancang dengan gelagar boks tipe cable stayed dimana setiap komponen memiliki
dwifungsi estetik dan struktural.
2.2 Bahan jembatan
Baja untuk gelagar dan menara adalah profil dan pelat dengan tegangan leleh 400 MPa dan
baut mutu tinggi sesuai A325 ASTM. Baut jangkar dan penahan dibuat dari baja BJ400 juga.
Mutu dan cara pengelasan mengikuti peraturan dari American Welding Society.
Beton bertulang untuk bangunan bawah dan pondasi adalah mutu fc’ 30 MPa dengan
tulangan deform dengan mutu BJ400.
Kolokium Puslitbang Jalan dan Jembatan TA. 2008
Strand untuk cable stay adalah tipe lilitan tujuh kawat dengan tegangan putus 1860 MPa
dengan diameter nominal strand 12,7mm dan berselubung polietilena. Angkur hidup dan mati
untuk kabel adalah untuk tipe 5 sampai 12 strand, yang menggunakan angkur prategang
biasa, mengingat angkur kabel stay yang paten adalah untuk 12 strand dan lebih, sehingga
penggunaan angkur paten untuk jumlah strand dibawah 12 buah menjadi tidak ekonomis
dan mempersulit pendetailan karena memerlukan tempat penjangkaran 50x50 cm,
sedangkan gelagar jembatan mempunyai lebar relatif kecil. Dalam hal demikian biasanya
digunakan angkur prategang biasa yang diberi peredam elastomerik di ujung masing-masing
cable stay. Peredam diperlukan untuk mencegah fatik dini dari angkur prategang yang
difungsikan menjadi angkur cable stay yang menahan gaya-gaya dinamis.
2.3 Bentuk dan dimensi
2.3.1 Gelagar
Gelagar berbentuk boks dari pelat baja yang diperkaku pada arah memanjang dan melintang
dengan diafragma dan rib. Tinggi gelagar adalah 3m (dengan rasio 1/50 L), tebal pelat yang
membentuk gelagar adalah 40mm, lebar total boks adalah 7,5m dan lebar bersih 5,5m.
Kelandaian memanjang jembatan untuk lawan lendutan dibuat 1,8% atau dengan radius
4000m dan kemiringan melintang 2% untuk pengaliran air hujan.
2.3.2 Menara dan kabel
Menara berbentuk portal A dengan dua kolom pipa persegi baja dengan sisi 1100mm dan
tebal pelat 40mm. Menara dengan tinggi 33m (dengan rasio 0,22 L) berada pada perletakan
jepit di pilar. Kabel di-angkur dengan angkur mati dalam puncak menara dengan menumpu
pada dudukan baja dalam puncak menara. Lubang masuk kabel
ditutup dengan bahan kedap air untuk mencegah penetrasi kelembaban dan air hujan.
2.4 Cara pengerjaan
Cara pelaksanaan dengan kantilever seimbang merupakan ciri khas dari pembuatan
jembatan cable stayed. Urutan penarikan kabel dan besar gaya tarik awal kabel menjadi
dasar dalam analisis yang dilakukan dengan bantuan perangkat lunak. Dalam analisis yang
tergantung waktu diadakan pengecekan agar semua kabel aktif dalam keadaan tegang
tertarik dalam semua kondisi pembebanan yang mungkin terjadi selama pelaksanaan dan
setelah jembatan selesai dan berfungsi. Kabel yang ke tengah bentang utama (kabel no 5, X
kanan) umumnya peka menjadi non aktif dan hasil analisis dapat menunjukkan gaya negatif
(tekan) sehingga penyetelan gaya tarik awal kabel harus disesuaikan kembali agar kabel ke
tengah bentang utama tetap tegang dan dengan demikian dijaga agar angkur tidak melepas.
Contoh numerik untuk penarikan kabel yang telah disesuaikan terdapat dalam Tabel 1.
Kolokium Puslitbang Jalan dan Jembatan TA. 2008
Tabel 1. Lendutan teoritis akibat berat sendiri dan penarikan awal kabel
Tahap Lendutan y bentang
utama L di lokasi x
terhadap menara
Simpangan
menara z
neg= kiri
Gaya tarik awal kabel
kN,bentang pemberat=
ki, bentang utama =ka
Susunan
kabel
y (mm) x (mm) Z (mm) X kiri X kanan
1 3,8 15 -48 260 200 1
2 -20 27,5 -60 320 250 2
3 -47 40 -72 500 280 3
4 -98 52,5 -66 560 440 4
5 -184 65 -74 770 325 5
6= pasang
segmen
akhir
-256 75 tengah
bentang
utama L
-56
2.5 Beban rencana
Beban diperhitungkan dalam daya layan SLS karena merupakan struktur prategang, dan
dicek pada tingkat ultimit ULS. Yang diperhitungkan adalah beban mati struktur, beban
tambahan untuk pelat pengaku, diafragma, sandaran, lapis perkerasan, baut dan pelat
penyambung dan pipa utilitas. Beban hidup diperhitungkan 100 % beban jembatan jalan raya.
Gempa dihitung secara statis ekuivalen dengan koefisien gempa horisontal 0.15 terhadap
berat sendiri struktur dan gaya kabel pada menara. Perbedaan penurunan pondasi
diperhitungkan 25 mm.
2.6 Hasil analisis arah memanjang dan melintang jembatan
Hasil analisis memanjang menunjukkan tegangan dalam gelagar boks baja sebesar 141 MPa
tarik dan -212 MPa tekan dengan lendutan 718 mm total, yang berada dalam batas ijin 230
MPa, dengan lendutan ijin 750 mm dimana lendutan beban hidup 1/400 L = 375mm.
Dalam menara terjadi tegangan -90 MPa tekan dengan simpangan 72 mm di puncak menara
dalam arah memanjang jembatan. Dalam arah melintang menara menahan gaya inersia
gempa dengan tegangan -155 MPa tekan dan lendutan 100mm.
Gaya kabel diperhitungkan dalam keadaan SLS dan ULS dengan tegangan ijin 45%
tegangan putus strand kabel dan keadaan ultimit dengan batasan 70% tegangan putus
strand kabel – Tabel 2. Akibat penurunan pondasi 25mm terjadi 25% peningkatan gaya kabel
dalam jeadaan SLS yang masih memenuhi persyaratan tegangan ijin.
Center
line
Xki Xka
Kabel no 5 Kabel no 5
1 1
neg z pos
x
y
Kolokium Puslitbang Jalan dan Jembatan TA. 2008
Tabel 2. Gaya kabel awal, SLS dan ULS
No kabel Gaya tarik awal
kN
Jumlah strand
per kabel
Gaya kabel
SLS kN
Gaya kabel
ULS kN
5 ki
4 ki
3 ki
2 ki
1 ki
770
560
500
320
260
15 diam ½ ”
12 diam ½”
13 diam ½”
8 diam ½ ”
5 diam ½ ”
1186
942
1014
607
332
1414
1155
1271
757
394
1 ka
2 ka
3 ka
4 ka
5 ka
200
250
280
440
325
7 diam ½ ”
15 diam ½ ”
14 diam ½”
15 diam ½ ”
6 diam ½”
548
1192
1105
1215
488
639
1483
1393
1497
572
3. HASIL PENELITIAN DAN PENGKAJIAN
Dalam perencanaan jembatan Gelanggang telah diadakan studi banding dengan jembatan
beton prategang dan jembatan terapung dengan komponen Bailey panel. Jembatan terapung
dalam hal ini tidak layak karena terdapat fluktuasi muka air yang cukup besar sehingga
akibatnya pilar jembatan terapung harus bertingkat dalam panel Bailey yang menjadi tidak
stabil lagi. Akhir dari perhitungan teoritis adalah perkiraan volume dan biaya yang dirangkum
sebagai berikut untuk bagian bangunan atas jembatan.
Volume jembatan boks baja dengan struktur cable stay adalah 3050 ton baja struktural @ 15
juta rp, strand 22720 m @ ½ juta dengan perkiraan biaya langsung 57 M.
Volume jembatan boks beton prategang dengan cara pemasangan secara kantilever
seimbang adalah 2268 kubik beton @ 2 juta, Strand 156600m @ ½ juta dengan perkiraan
biaya langsung 83 M.
Perkiraan biaya jembatan terapung tipe Bailey adalah 38 M. Jembatan terapung tidak
menggunakan pondasi, melainkan berada diatas kotak ponton.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
1.1 Kesimpulan
1. Jembatan struktur kabel mendukung pembangunan jembatan bentang panjang dan dapat
mencapai bentang 1000m
2. Bangunan bawah jembatan cable stayed dapat dihemat mengingat sebagian reaksi
perletakan adalah terangkat.
3. Tampak jembatan lebih ramping dan estetis
4.2 Saran
1. Segi aerodinamik perlu dikaji lebih mendalam terutama untuk jembatan yang sempit dan
panjang seperti jembatan lalu lintas ringan dengan lebar 2,5 m dan panjang bentang
200m
2. Penggunaan damper untuk stabilitas terhadap angin perlu pengkajian lebih mendalam
juga
Kolokium Puslitbang Jalan dan Jembatan TA. 2008
5. DAFTAR PUSTAKA
1. Cable Stayed Bridges, Rene Walther, Bernard Houriet, Walmar Isler, Pierre Moia
2. Bridge Welding Code, American Welding Society
3. Peraturan Beban Jembatan (SNI)
4. Perencanaan Baja Struktural (SNI)
5. Perencanaan Beton Struktural (SNI)
LAMPIRAN GAMBAR JEMBATAN GALANGGANG TIPE CABLE STAYED
Gambar 1. Lokasi jembatan Galanggang yang melintasi danau Saguling
Sumber(www.caripdf.com)
Langganan:
Postingan (Atom)